POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A.
Pengertian Poligami
Poligami ialah
mengawini beberapa lawan jenisnya diwaktu yang bersaman. Berpoligami berarti
menjalankan (melakukan) poligami.Poligami sama dengan
Poligini, yaitu mengawini bebrapa wanita dalam waktu yang sama.[1]
Menurut Drs. Sidi Ghazalba, poligami ialah perkawinan
antara seorang laki-laki dengan wanita lebih dari satu orang. Lawannya Poliandri ialah perkawinan seorang
perempuan dengan beberapa orng laki-laki.
Sebenarnya
Istilah Poligami itu mengandung pengertian Poligini dan Poliandri. Akan tapi
karena Poligini yang banyak terdapat, terutama sekali di Indonesia dan negara-negara yang memakai hukum Islam maka tanggapan tentang poligini ialah
poligami.[2].
B.
Hukum Poligami Dalam Islam
Menurut Mahmud
Syaltut, mantam Syaikh Al-Azhar hukum poligami adal mubah. Poligami dibolehkan
selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiyaan terhadap para istri. Jika
terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiayan dan untuk
melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan itu, dianjurkan agar
mencukupkan beristri satu orang saja. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kebolehan berpoligami terkait dengan
terjaminnya keadilan dan ketiadaan kekhawatiran akan terjadinya penganiyaan, [3]
yaitu penganiyaan terhadap para istri. Syamasyari
dalam kitabnya Tafsir Al Kasyaf mengatakan, bahwa poligami menurut ajaran Islam
adalah merupakan suatu Rukhshah (kelonggaran ketika darurat). Sama halnya rukshah
bagi musafir dan orang sakit yang
dibolehkan buka puasa Ramadhan ketika dalam perjalanan. Darurat yang
dimaksudkan adalah berkaitan dengan tabiat laki-laki dari segi kecenderungannya
umtuk bergaul lebih dari seorang istri. Kecenderungan yang pada diri seorang
laki-laki itulah seandainya syariat Islam tidak memberikan kelonggaran
berpoligami, niscaya akan membawa kepada perjinahan. Oleh karena itu poligami
diperbolehkan dalam Islam. [4]
Dasar hukum poligami disebutkan dalam surat annisa ayat 3.
Artinya[5]:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Dalam ayat ini disebutksn, bahwa para wali yatim boleh mengawini
yatim asuhnya dengan syarat harus adil, yaitu harus memberi mas kawin kepadanya.
Sebagaimana halnya ia mengawini wanita lain. Hal ini berdasarkan keterangan
Aisyah ketika ditanya oleh Urwah bin Al Jubair RA mengenai maksud ayat 3 surat
An Nisa yaitu:
“ Jika anak wanita khawatir atau tidak bisa berbuat adil terhadap
anak yatim, maka wali tersebut tidak boleh mengawini anak yatim yang berada
dalam perwaliannya itu. Tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia
senangi, seorang istri yang ia senangi dengan syarat ia mampu berbuat adil
terhadap istri-istrinya. Jiak tidak maka ia hanya boleh beristri seorang dan
inipun ia tidak boleh berbuat zhalim terhadap istrinya yang seorang itu maka ia
tidak boleh kawin dengannya. Tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak
wanitanya.[6]
Sehubungan dengan hal ini Syaikh Muhammad Abduh mengatakan haram
berpoligami bagi seseorang yang khawatir tidak akan berlaku adil.[7]Jadi maksud ayat 3 surat Annisa itu boleh kamu mengawini yatim
dalam asuhan dengan syarat adil. Bila tidak demikian hendaklah memilih wanita
lain saja. Sebab perempuan yang selain yatim dalam asuhan masih banyak
jumlahnya dan boleh kawin sampai 4 istri. Bila dengan kawin empat seorang
laki-laki tidak berbuat adil maka kawinlah seorang wanita saja.Sebelum turun ayat 3 surat Annisa diatas banayak sahabat yang
mempunyai istri lebih dari empat orang. Sesudah ada pembatasan paling banyak
poligami itu empat. Maka Rasulullah memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang
mempunyai istri lebih dari empat untuk menceraikan istri-istrinya, seperti
disebutkan adalam hadits yang artinya:
“Sesungguhnya Nabi SAW berkata kepda Ghailan bin Umayyah Al Tsaqafi
yang waktu masuk Islam mempunyai 10 istri, pilihlah 4 dan ceraikanlah yang
lainnya.” (Hadist Riwayat Nasa’i dan Daruqhutny)
Dalam hadits lain disebutkan pula tentang pengakuan sahabat yang bernama
Qois bin Harits yang artinya: “Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan
istri saya, lalu hal itu saya ceritakan kepada Nabi Muhammad SAW maka Beliau
bersabda “Pilihla empat orang dari mereka.” (HR. Abu Dawud)Berdasarkan pemahaman terhadap ayat dan Hadits yang membatasi
poligami, maka timbul pertanyaan, “Asas perkawinan dalam Islam monogamikah atau
poligami?
Dalam masalah ini ada 2 pendapat, yakni:
1.
Bahwa
asas perkawinan dalam Islam itu monogami.
2.
Bahwa
asas perkawinan dalam Islam itu poligami.
Golongan pertama beralasan bahwa Allah SWT memperbolehkan dengan
syarat harus adil. Mengenai kedailan ini harus dikaitkan dengan Firman Allah
dalam surat Annisa ayat 129, yaitu:
Artinya:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
4
Karena ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak akan ada seorang yang
dapat berbuat adil, suatu petunjuk bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah
monogami. Bagi yang berpendapat bahwa asas pernikahan itu adalah poligami,
beralasan bahwa antara ayat 3 dan 129 surat annisa tidak terdapat pertentangan.
Hanya saja keadilan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah keadilan lahiriyah
yang dapat dikerjakan oleh manusia bukan adil dalam arti cinta dan kasih
sayang. Adil yang tidak dapat dilaksanakan oleh seeseorang yang seperti
tercantum dalam ayat 129 surat Annisa itu adalah adil dalam cinta dan jima’.
Ini memang logis. Umpama hari ahad giliran dirumah istri pertama memberikan
nafkah bathin hari senin giliran istri kedua memberikan nafkah yang sama,
demikian yang selanjutnya pada hari istri ketiga dan keempat. Adil yang semacam
ini jarang terjadi, sebab gairah untuk memberikan nafkah bathin ini tidak
selalu ada. Asalkan perbuatan itu tidak disengaja maka itu tidak dosa.
Golongan yang berpendapat bahwa asas melaksanakan poligami hanya
dalam keadaan memaksa atau darurat,Muhamad Rasyid Ridha mencantumkan beberapa
hal yang boleh dijadikan alasan berpoligami, antara lain:
1.
Istri
mandul
2.
Istri
dapat mempunyai penyakit yang dapat menghalangi suaminya memberikan nafkah
bathin.
3. Bila
suami mempunyai kemauan seks luar biasa/over dosis, sehingga istrinya haid
bebrapa hari saja mengkhawatirkan dirinya bebrbuat serong.
4. Bila
suatu daerah jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki, sehingga apabila
tidak poligami mengakibatkan banyak wanita yang berbuat serong.[8]
Dari dua pendapat diatas, baik asas perkawinan itu monogami ataupun
poligami yang jelas Islam membolehkan adanyaq pologami dengan bersyarat adil.
Syarat adil ini merupakan suatu penghormatan kepada wanita yang bila tidak
dipenuhi akan mendatangkan dosa.
Kalau suami tidak berlaku adil kepada istrinya, berarti ia tidak
Muasyarah bil al Ma’ruf kepada istrinya, sebagaimana diperintahkan Allah dalam
Al Qur’an surat Annisa ayat 19:
Artinya: Dan bergaullah
dengan mereka secara patut. [9]
Dalam kedudukan suami sebagai pemimpin/kepala rumah tangga ia wajib
muasyarah bil ma’ruf kepada istrinya. Ia tidak boleh semena-mena kepada
istrinya, karean dalam pergaulan hidup dalam rumah tangga istri boleh menuntut
pembatalan akad nikah dengan jalan
khulu’, bila suami tidak mau memberikan nafkan atau tidak mampu memberi nafkah,
atau tidak berlaku adil, sedang itu tidak rela, atau suami berbuat serong, penjudi,
pemabuk, dsb (lihat Albaqarah:229) akibat khulu’, suami sebagai kepala rumah
tangga yang tidak dapat melaksanakn tanggungjawabnya yang berarti ia tidak
bergaul secara patut/baik terhadap istrinya.
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Poligami dalam ajaran Islam dibolehkan bagi siapa saja yang mampu
berbuat adil. Ketentuan adil ini memang ada perbedaan pendapat, diantaranya
adil yang dimaksud disini adalah adil dalam hal fisik.
Menurut Tafsir Al Misbah karya Qurais Shihab mengatakan bahwa
Poligami diibaratkan satu pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh orang yang
amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.
Jadi inti dari dibolehkannya poligami
adalah berlaku adil. Barangsiapa yang mampu berbuat adil maka ia punya
kesempatan untuk berpoligami.
Daftar Kepustakaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta,
Balai Pustaka, Cet . I, 1998
Prof.
Dr. Mahmud Syaltut, Islam Akidah wa Sya’riyah,
Mesir, Daru Al-Qalam, Cet. 3. 1996
Muhammad
Al Bahy, Al Islam wa Tijah Al Mu’ashirah, Mesir, Maktabah Wahbah,
1978
Departemen
Agama RI, Al Qur’an dan terjemahannya, Saudi Arabia, Khadim Al
Haramain Al Syarifatain, t. Th,
Departemen
Agama RI, Al Qur’an dan terjemahannya, Saudi Arabia, Khadim Al
Haramain Al Syarifatain, t. Th, h. 115
[1] Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, Cet . I, 1998, h. 693
[3] Prof. Dr.
Mahmud Syaltut, Islam Akidah wa Sya’riyah,
Mesir, Daru Al-Qalam, Cet. 3. 1996 h. 269
[4] Muhammad Al
Bahy, Al Islam wa Tijah Al Mu’ashirah, Mesir, Maktabah Wahbah, 1978, h. 42
[5] Departemen
Agama RI, Al Qur’an dan terjemahannya, Saudi Arabia, Khadim Al Haramain Al
Syarifatain, t. Th, h. 115
2
[6] Masyfuk Zuhdi,
Masail Fiqhiyyah, Jakarta, Haji Mas Agung, 1990, h. 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar