Kamis, 05 Desember 2013

POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A.   Pengertian Poligami
Poligami ialah mengawini beberapa lawan jenisnya diwaktu yang bersaman. Berpoligami berarti menjalankan (melakukan) poligami.Poligami sama dengan Poligini, yaitu mengawini bebrapa wanita dalam waktu yang sama.[1] 
Menurut  Drs. Sidi Ghazalba, poligami ialah perkawinan antara seorang laki-laki dengan wanita lebih dari satu orang.  Lawannya Poliandri ialah perkawinan seorang perempuan dengan beberapa orng laki-laki. 
Sebenarnya Istilah Poligami itu mengandung pengertian Poligini dan Poliandri. Akan tapi karena Poligini yang banyak terdapat, terutama sekali di Indonesia  dan negara-negara yang memakai hukum Islam  maka tanggapan tentang poligini ialah poligami.[2].
 
B.     Hukum  Poligami Dalam Islam
Menurut Mahmud Syaltut, mantam Syaikh Al-Azhar hukum poligami adal mubah. Poligami dibolehkan selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiyaan terhadap para istri. Jika terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiayan dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan itu, dianjurkan agar mencukupkan beristri satu orang saja. Dengan demikian menjadi jelas,  bahwa kebolehan berpoligami terkait dengan terjaminnya keadilan dan ketiadaan kekhawatiran akan terjadinya penganiyaan, [3] yaitu penganiyaan terhadap para istri. Syamasyari dalam kitabnya Tafsir Al Kasyaf mengatakan, bahwa poligami menurut ajaran Islam adalah merupakan suatu Rukhshah (kelonggaran ketika darurat). Sama halnya rukshah bagi musafir dan orang  sakit yang dibolehkan buka puasa Ramadhan ketika dalam perjalanan. Darurat yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan tabiat laki-laki dari segi kecenderungannya umtuk bergaul lebih dari seorang istri. Kecenderungan yang pada diri seorang laki-laki itulah seandainya syariat Islam tidak memberikan kelonggaran berpoligami, niscaya akan membawa kepada perjinahan. Oleh karena itu poligami diperbolehkan dalam Islam. [4]
Dasar hukum poligami disebutkan dalam surat annisa ayat 3.
Artinya[5]: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Dalam ayat ini disebutksn, bahwa para wali yatim boleh mengawini yatim asuhnya dengan syarat harus adil, yaitu harus memberi mas kawin kepadanya. Sebagaimana halnya ia mengawini wanita lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah ketika ditanya oleh Urwah bin Al Jubair RA mengenai maksud ayat 3 surat An Nisa yaitu:
“ Jika anak wanita khawatir atau tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka wali tersebut tidak boleh mengawini anak yatim yang berada dalam perwaliannya itu. Tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang istri yang ia senangi dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya. Jiak tidak maka ia hanya boleh beristri seorang dan inipun ia tidak boleh berbuat zhalim terhadap istrinya yang seorang itu maka ia tidak boleh kawin dengannya. Tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.[6]
Sehubungan dengan hal ini Syaikh Muhammad Abduh mengatakan haram berpoligami bagi seseorang yang khawatir tidak akan berlaku adil.[7]Jadi maksud ayat 3 surat Annisa itu boleh kamu mengawini yatim dalam asuhan dengan syarat adil. Bila tidak demikian hendaklah memilih wanita lain saja. Sebab perempuan yang selain yatim dalam asuhan masih banyak jumlahnya dan boleh kawin sampai 4 istri. Bila dengan kawin empat seorang laki-laki tidak berbuat adil maka kawinlah seorang wanita saja.Sebelum turun ayat 3 surat Annisa diatas banayak sahabat yang mempunyai istri lebih dari empat orang. Sesudah ada pembatasan paling banyak poligami itu empat. Maka Rasulullah memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang mempunyai istri lebih dari empat untuk menceraikan istri-istrinya, seperti disebutkan adalam hadits yang artinya:
“Sesungguhnya Nabi SAW berkata kepda Ghailan bin Umayyah Al Tsaqafi yang waktu masuk Islam mempunyai 10 istri, pilihlah 4 dan ceraikanlah yang lainnya.” (Hadist Riwayat Nasa’i dan Daruqhutny)
Dalam hadits lain disebutkan pula tentang pengakuan sahabat yang bernama Qois bin Harits yang artinya: “Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan istri saya, lalu hal itu saya ceritakan kepada Nabi Muhammad SAW maka Beliau bersabda “Pilihla empat orang dari mereka.” (HR. Abu Dawud)Berdasarkan pemahaman terhadap ayat dan Hadits yang membatasi poligami, maka timbul pertanyaan, “Asas perkawinan dalam Islam monogamikah atau poligami?
Dalam masalah ini ada 2 pendapat, yakni:
1.      Bahwa asas perkawinan dalam Islam itu monogami.
2.      Bahwa asas perkawinan dalam Islam itu poligami.
Golongan pertama beralasan bahwa Allah SWT memperbolehkan dengan syarat harus adil. Mengenai kedailan ini harus dikaitkan dengan Firman Allah dalam surat Annisa ayat 129, yaitu:
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
4
Karena ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak akan ada seorang yang dapat berbuat adil, suatu petunjuk bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah monogami. Bagi yang berpendapat bahwa asas pernikahan itu adalah poligami, beralasan bahwa antara ayat 3 dan 129 surat annisa tidak terdapat pertentangan. Hanya saja keadilan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah keadilan lahiriyah yang dapat dikerjakan oleh manusia bukan adil dalam arti cinta dan kasih sayang. Adil yang tidak dapat dilaksanakan oleh seeseorang yang seperti tercantum dalam ayat 129 surat Annisa itu adalah adil dalam cinta dan jima’. Ini memang logis. Umpama hari ahad giliran dirumah istri pertama memberikan nafkah bathin hari senin giliran istri kedua memberikan nafkah yang sama, demikian yang selanjutnya pada hari istri ketiga dan keempat. Adil yang semacam ini jarang terjadi, sebab gairah untuk memberikan nafkah bathin ini tidak selalu ada. Asalkan perbuatan itu tidak disengaja maka itu tidak dosa.
Golongan yang berpendapat bahwa asas melaksanakan poligami hanya dalam keadaan memaksa atau darurat,Muhamad Rasyid Ridha mencantumkan beberapa hal yang boleh dijadikan alasan berpoligami, antara lain:
1.      Istri mandul
2.      Istri dapat mempunyai penyakit yang dapat menghalangi suaminya memberikan nafkah bathin.
3.   Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa/over dosis, sehingga istrinya haid bebrapa hari saja mengkhawatirkan dirinya bebrbuat serong.
4.    Bila suatu daerah jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki, sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita yang berbuat serong.[8]
Dari dua pendapat diatas, baik asas perkawinan itu monogami ataupun poligami yang jelas Islam membolehkan adanyaq pologami dengan bersyarat adil. Syarat adil ini merupakan suatu penghormatan kepada wanita yang bila tidak dipenuhi akan mendatangkan dosa.
Kalau suami tidak berlaku adil kepada istrinya, berarti ia tidak Muasyarah bil al Ma’ruf kepada istrinya, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al Qur’an surat Annisa ayat 19:
Artinya: Dan bergaullah dengan mereka secara patut. [9]
Dalam kedudukan suami sebagai pemimpin/kepala rumah tangga ia wajib muasyarah bil ma’ruf kepada istrinya. Ia tidak boleh semena-mena kepada istrinya, karean dalam pergaulan hidup dalam rumah tangga istri boleh menuntut pembatalan akad nikah  dengan jalan khulu’, bila suami tidak mau memberikan nafkan atau tidak mampu memberi nafkah, atau tidak berlaku adil, sedang itu tidak rela, atau suami berbuat serong, penjudi, pemabuk, dsb (lihat Albaqarah:229) akibat khulu’, suami sebagai kepala rumah tangga yang tidak dapat melaksanakn tanggungjawabnya yang berarti ia tidak bergaul secara patut/baik terhadap istrinya.





BAB III
PENUTUP
a.       Kesimpulan
Poligami dalam ajaran Islam dibolehkan bagi siapa saja yang mampu berbuat adil. Ketentuan adil ini memang ada perbedaan pendapat, diantaranya adil yang dimaksud disini adalah adil dalam hal fisik.
Menurut Tafsir Al Misbah karya Qurais Shihab mengatakan bahwa Poligami diibaratkan satu pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh orang yang amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan.
            Jadi inti dari dibolehkannya poligami adalah berlaku adil. Barangsiapa yang mampu berbuat adil maka ia punya kesempatan untuk berpoligami.






Daftar Kepustakaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,
Balai Pustaka, Cet . I, 1998
Prof. Dr. Mahmud Syaltut, Islam Akidah wa Sya’riyah,  Mesir, Daru Al-Qalam, Cet. 3.      1996
Muhammad Al Bahy, Al Islam wa Tijah Al Mu’ashirah, Mesir, Maktabah Wahbah,
            1978
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan terjemahannya, Saudi Arabia, Khadim Al
Haramain Al Syarifatain, t. Th,
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan terjemahannya, Saudi Arabia, Khadim Al
Haramain Al Syarifatain, t. Th, h. 115


[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, Cet . I, 1998, h. 693
[2] Drs. Sidi Ghazalba, Menghadapi Soal-soal perkawinan, Jakarta Antara 1975, h. 25

1
[3] Prof. Dr. Mahmud Syaltut, Islam Akidah wa Sya’riyah,  Mesir, Daru Al-Qalam, Cet. 3. 1996 h. 269
[4] Muhammad Al Bahy, Al Islam wa Tijah Al Mu’ashirah, Mesir, Maktabah Wahbah, 1978, h. 42
[5] Departemen Agama RI, Al Qur’an dan terjemahannya, Saudi Arabia, Khadim Al Haramain Al Syarifatain, t. Th, h. 115

2
[6] Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, Jakarta, Haji Mas Agung, 1990, h. 16
[7] Muhammad Al Bahy, Op.Cit, h.45



3
[8] Muhammad Abduh, AlManar, Juz IV, h. 350

5
[9] Depag RI, Op.Cit.h.119

6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar