REFLEKSI DAN INTERNALISASI NILAI-NILAI QURBAN
DALAM PERSPEKTIF INDONESIA BARU
(Suatu Upaya Menuju Kualitas
Hidup)
ألله أكبر 9x ولله الحمد. اَلحَمدُ لله الٌَذي
جَعَلَ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى
لِلْعَالَمِينَ وَرَفَعَ للمُؤمنينَ علمًا بالتٌَكبير وَالتٌَهليل وَالتٌَحميد
شَعَائرًا لهذا الدٌين وَجَعَلَ أَعظَمَ شَعَائرَهُ حَجّ بَيته الحَرَام بحُرمه
الأَمين، أَشهَدُ أَن لَا إله إلٌا الله العَزيزُ الرٌَحيم وَأَشهَدُ أَنَّ
مُحَمٌَدًا عَبدُهُ وَرَسُولُهُ النٌَبيُ الَكريمُ.
وَالصٌَلاةُ وَ السٌَلامُ على أَشرَف الأَنبيَاء
وَالمُرسَلين سيّدنَا مُحَمٌَد وَعَلَى اله وَأَصحَابه الأَبرَار أَجمَعين. فَيَا
أَيُّهَا المُخلَصُونَ الحَاضرُون إتٌَقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاته وَاعلَمُوا أَنَّ
اللهَ مَعَ المُتَّقين.
Allahu Akbar 3x wa Lillahi al-Hamd
Allah
Maha Besar, tiada Tuhan melainkan Allah, kepada-Nya jua tertuju segala puja dan
syukur. Pada hari ini, suara takbir dan tahmid dipastikan berkumandang di
tengah-tengah masyarakat muslim di seantero dunia, guna menyambut sepuluh
Zulhijjah, Hari Raya idul adha yang dikenal juga dengan idul Qurban.
Sementara itu, nun jauh di sana di sekitar terpancarnya fajar Islam kurang
lebih empat belas abad silam, jutaan kaum muslimin yang datang menunaikan
ibadah haji tahun ini menyeruhkan pula kalimat talbiyah, menyambut dan
mengagungkan asma Allah.
لَبَّيكَ اَللٌهُمَّ لَبَّيك لَبَّيكَ لَا شَريكَ لَكَ لَبَّيك
إنَّ الحَمدَ وَالنٌعمَةَ لَكَ وَالمُلك لَا شَريكَ لَكَ
Hari
ini merupakan hari proklamasi kembalinya seseorang kepada semangat kesucian;
yaitu, seseorang kembali kepada kesucian melalui penunaian ibadah haji yang mabur.
Rasulullah saw. bersabda: الحَجُّ المَبرُورُ لَيسَ لَهُ جَزَاء
إلٌا الجَنَّة (haji mabrur
tiada lain balasannya selain surga). Adapun kita, yang pada tahun ini tidak
berkesempatan memenuhi undangan Allah menyelenggarakan ibadah haji, maka
kesucian itu dapat kita peroleh, meskipun kualitasnya berbeda, yaitu dengan
jalan melaksanakan sunnah Rasulullah, seperti salat sunnat id dan
memotong hewan kurban bagi yang berkesempatan.
Seperti halnya seluruh
ajaran Islam, ibadah kurban sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya,
lewat ajaran kurban, umat Islam akan menemukan jatidiri sebagai manusia yang
sebenarnya, yang membedakannya dengan makhluk lain. Salah satu sisi
keistimewaan manusia ialah
kecenderungannya untuk selalu memburu kualitas hidup, dan bukan hanya sekedar
hidup.
Karena manusia selalu
cenderung memperbaiki kualitas hidupnya, maka lahirlah tatacara berkehidupan
yang berbudaya dan berperadaban. Ciri utama dari suatu peradaban dan kebudayaan
ialah semakin terkikisnya prilaku hewaniah (kebinatangan); individualisme
digantikan oleh kebersamaan, egoisme digantikan oleh kepedulian sosial,
kesewenangan digantikan oleh kesetiakawanan, eksploitasi (pemerasan) dan
konfrontasi digantikan oleh kooperasi (kerjasama), serta kekerasan digantikan
oleh keramah-tamahan dan saling pengertian.
Sebagai simbol
religius bagi kesediaan kita meninggalkan sifat-sifat hewaniah berupa
individualisme, egoisme, kesewenangan, eksploitasi, monopoli, dan kekerasan;
maka, Islam mengajarkan kita untuk melakukan ibadah kurban. Ibadah kurban,
memang seharusnya atau lebih baik dipahami secara metaforis atau simbolik,
sebab yang lebih utama untuk kita harus kurbankan sebenarnya adalah sifat-sifat
hewaniah yang ada dalam diri kita masing-masing. Tegasnya, orang yang
menyembelih kurban tidaklah cukup jika hanya puas dengan sembelihan binatang
saja, tetapi harus dibarenginya dengan kesediaan meninggalkan segenap prilaku
hewaniah yang melekat pada dirinya. Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Hajj, 22:
37:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلاَ دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ
يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ
عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِين. (الحج 37:22)
“Daging-daging kurban dan
darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi
ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah
menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya
kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
Kalau di akhir Ramadhan kita diwajibkan
mengeluarkan zakat fitrah, berupa beras atau kebutuhan makanan pokok kepada
fakir miskin, maka sekitar dua bulan kemudian, fakir miskin kembali memperoleh
bentuk uluran tangan berupa daging hewan kurban. Di samping bantuan rutin ini,
fakir miskin juga akan memperoleh subsidi dalam bentuk sedekah, infak, dan
zakat harta, serta santunan berupa pembayaran fidyah dan kaffarat
umat Islam lainnya.
Jika seandainya pranata ini berjalan dengan
semestinya di dalam masyarakat, maka rakyat kita sebenarnya tidak membutuhkan
lagi subsidi BBM, pembagian raskin yang tidak merata dan sebagainya, bahkan
rakyat akan lebih sejahtera dan mampu membayar kenaikan BBM, tarif dasar
listrik dan telepon. Dan bila hal ini terjadi, maka meskipun terdapat
kesenjangan tetapi tidak akan hinggap di hati fakir miskin, dan karenanya, kita
tidak perlu lagi cemas terhadap ancaman letupan revolusi sosial.
Ibadah kurban yang kita lakukan pada hari ini dan tiga hari sesudahnya, selain berdimensi ritual, berfungsi untuk taqarrub (mendekatkan) diri kepada Allah dan meningkatkan ketakwaan kepada-Nya, juga berdimensi sosial kemasyarakatan, berfungsi untuk mempererat hubungan kita dengan sesama manusia, memupuk persatuan dan persaudaraan, serta rasa solidaritas terhadap sesama yang dalam bahasa agama disebut al-takaful al-ijtima’i. Ibadah kurban juga merupakan ujian bagi kita agar dapat melakukan kurban pada hari-hari berikutnya, yaitu kurban dalam bentuk materi yang telah dianugrahkan oleh Allah kepada kita yang juga berfungsi ganda.
Dalam
situasi sulit seperti sekarang ini, di mana bangsa Indonesia dihadapkan pada
suatu masalah yang cukup berat, yaitu krisis ekonomi, politik dan krisis moral
yang berkepanjangan yang menimpa hampir seluruh lapisan masyarakat, ditambah
lagi dengan terjadinya bencana alam secara beruntun yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia, tsunami,
banjir, kebakaran, tanah longsor dan letusan gunung api. Sepertinya Tuhan telah
murka kepada kita, mudah-mudahan ini sekedar cobaan, bukan laknat Allah. Nah,
di sinilah saatnya kita dituntut untuk mengorbankan materi yang kita miliki
sebagai perwujudan dari kurban yang kita lakukan pada hari ini.
Allahu Akbar 3x wa Lillahi al-Hamd
Sementara itu, lewat informasi yang sampai kepada kita, 3 juta umat Islam
dunia, dimana kurang lebih 250 ribu di
antaranya umat Islam dari Indonesia, sedang menunaikan ibadah haji di tanah
suci Mekah. Ibadah haji jelas mencerminkan rasa persaudaraan, yang tidak hanya
antar sesama bangsa, tetapi antara berbagai bangsa di dunia. Di sana tengah
berkumpul dalam keadaan membaur antara orang yang berpangkat dan rakyat jelata,
antara para konglomerat dan petani kecil, bahkan--mungkin--buruh kasar, tanpa
dibumbui rasa kecemburuan sosial serta sikap meremehkan yang lain. Mereka dipersatukan oleh satu tujuan, yakni
beribadah kepada Allah SWT. Demikianlah gambaran ideal masyarakat Islam.
Alangkah idealnya, jika perwajahan persatuan dan persaudaraan umat Islam di
tanah suci itu kita proyeksikan menjadi budaya dalam membangun masyarakat,
bangsa dan negara Indonesia tercinta. Untuk menjadi pelopor pembangunan bangsa,
umat Islam sangat butuh persatuan, bukan perpecahan. Umat Islam sangat butuh
kebersamaan, bukan keterkelompok-kan yang penuh fanatisme. Hanya umat Islam
yang bersatu padu yang dapat mempersatukan bangsa. Umat Islam yang selalu
diwarnai konflik golongan, konflik kepentingan pribadi, meskipun jumlahnya
mayoritas, tetap tidak berwibawa dan tidak akan disegani oleh sesama bangsa
kita sendiri.
وَلاَ تَنَازَعُوْا
فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ.ِ
“Dan janganlah kamu berpecah belah, sehingga kamu gentar, lemah tak
berwibawa).
Demikian firman Allah SWT. dalam QS. Al-Anfal, 8: 46.
Aidin dan Aidat Rahimakumullah
Jika ibadah haji
mendidik umat untuk hidup dalam kebersamaan, maka ibadah kurban menekankan ajaran
kesetiakawanan terhadap sesama manusia. Ibadah kurban menumbuhkan kebiasaan
memberi kepada orang lain yang lebih berhak. Hal ini akan semakin menjauhkan
pribadi Muslim dari sifat-sifat tamak, loba dan serakah. Tidak diragukan lagi,
bahwa hal yang selalu mendorong orang menyimpang dari prilaku sosial, melakukan
penindasan terhadap orang-orang lemah adalah berawal dari tumbuhnya sifat
tamak, loba dan serakah. Sifat-sifat tersebut cenderung menghalalkan segala
cara, sampai kepada tindakan yang sadis berupa perampokan dan pembunuhan.
Untuk
melindungi masyarakat dari bahaya serupa itulah, lewat ajaran kurban, Islam
menumbuhkan budaya memberi dan berusaha menjauhi budaya menerima اليَدُ العُلي خَير منَ اليَد السٌُفلَي
tangan yang memberi lebih baik daripada tangan yang menerima; Islam
menggalakkan budaya peduli orang lain, bukan hanya peduli diri
sendiri.
Ajaran
kepedulian sosial dalam ibadah kurban bertujuan untuk menjalin hubungan antara
orang berada dengan orang yang tak berpunya. Untuk itu pula, Islam sangat
mencela orang yang tidak pernah terbetik dalam hatinya untuk memberi kepada
orang-orang melarat. Bahkan, orang yang salat pun akan dimasukkan ke dalam
neraka jika tidak peduli kepada orang-orang melarat. Allah SWT. berfirman dalam
Q.S. Al-Ma‘un, 107: 1-7:
أَرَءَيْتَ الَّذِى يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِ. فَذلِكَ الِّذِى
يَدُعُّ الْيَتِيْمَ. وَلاَيَحُضُّ عَلَىطَعَامِ المِسْكِيْنِ.فَوَيْلٌ
لِلْمُصَلِّيْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ. اَلَّذِيْنَ هُمْ
يُرَاءُوْنَ. وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ.
“Tahukah kamu [orang] yang mendustakan agama? Yaitu, orang yang menghardik
anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka,
ketercelakaan (neraka)lah bagi orang yang bersalat, yaitu yang lalai dari
salatnya, orang yang berbuat riya dan enggan memberi pertolongan”.
Sejalan dengan
itu, Rasulullah SAW. bersabda:
مَنْ
كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا.
“Barang siapa yang memperoleh
kemampuan, lalu tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat
kami”. (H.R. Ibnu Majah).
Semoga saja kita tidak
termasuk golongan yang demikian itu.
Manusia
pada dasarnya adalah makhluk religi atau zoon religion. Oleh karena itu,
seseorang tidak mungkin menjadi kafir secara absolut. Betapapun besar kekufuran
seseorang pasti orang itu menyadari adanya ruang spiritual di dalam dirinya,
dan sewaktu-waktu membutuhkan simbol-simbol suci untuk menyalurkan rasa
keberagamaan itu.
Orang-orang yang
menyimpang dari jalan yang telah ditetapkan, mereka itulah disebut orang-orang
yang sesat, sulit melihat jalan yang benar karena nurani (cahaya) dalam hatinya
telah padam lalu digantikan dengan hati zulmani, hati yang gelap gulita.
Cermin batinnya yang suram tidak mampu lagi menangkap nur, cahaya Ilahi.
Mereka teralienasi oleh gemerlap kehidupan
dunia. Orang-orang seperti ini sangat berpotensi untuk membenarkan segala macam
cara dalam memenuhi keinginannya. Mereka tidak lagi tergetar hatinya dalam
menyaksikan penderitaan kaum yang lemah (du’afa`) karena paham
individualisme sedemikian merasuk ke dalam pikirannya. Orang-orang seperti ini
dipastikan tidak dapat merasakan ketenangan dan ketentraman hakiki.
Allahu Akbar 3x wa Lillah al-Hamd
Pelajaran
penting yang bisa diperoleh melalui hari raya ini ialah memetik hikmah dari
pengalaman Nabi Ibrahim a.s. satu diantara kelompok kecil nabi yang memperoleh
predikat “pemilik kebesaran” (ulul ‘azmi) dan secara khusus disebut
sebagai “Kekasih Allah” atau “Khalilullah” (QS. 4:125).
Salah satu dimensi kebesaran Nabi Ibrahim ialah
besarnya pengorbanan yang ditunjukkan kepada Allah SWT. melalui ketulusannya
mengurbankan putera kesayangan, Ismail, yang lahir dari isterinya, Hajar.
Padahal, Nabi Ismail lahir setelah melalui penantian cukup panjang dari
keluarga ini.
Kisah keluarga Nabi Ibrahim ini sarat dengan
pesan-pesan moral. Nabi Ibrahim adalah simbol bagi manusia yang rela
mengorbankan apa saja demi mencapai keridhaan Tuhan, termasuk rela mengorbankan
diri sendiri di dalam kobaran api. Pada
sisi lain, Nabi Ismail adalah simbol bagi sesuatu yang paling dicintai dan
sekaligus berpotensi untuk melemahkan dan menggoyahkan iman; simbol bagi segala
sesuatu yang dapat membuat kita enggang menerima tanggungjawab; simbol bagi
sesuatu yang dapat mengajak kita untuk berpikiran subyektif dan berpendirian
egois. Ringkasnya, simbol bagi segala sesuatu yang dapat menyesatkan kita.
Allahu Akbar 3x wa Lillah al-Hamd
Ketika Ibrahim hendak mengorbankan
anaknya, Ismail, berdasarkan petunjuk Allah swt., maka di antara mereka terjadi
dialog yang sangat indah dan halus. Sang ayah mengungkapkan maksud perintah
Allah kepada sang anak dengan bahasa yang sangat indah dan penuh demokratis
yang disambut dengan lapang dada oleh sang anak karena mengharap keridaan
Allah. Ismail yakin bahwa ia dan bapaknya, Ibrahim, pasti berjalan di jalan
Allah yaitu menuju tingkat ketakwaan yang tertinggi.
Dengan penuh keikhlasan, keyakinan dan kepatuhan,
Nabi Ibrahim melaksanakan perintah itu. Bahkan, Ismail pun rela dikorbankan.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي
أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ
افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (الصافات : 102).
“Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai
anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah
apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar".
Kali ini, Tuhan pun mengasihi
hambanya yang setia, Ibrahim, dengan menyelamatkan putranya, Ismail. Allah
menggantikannya dengan seekor kambing sebagai penghargaan terhadap ketinggian
martabat nyawa manusia.
Dalam konteks kehidupan bernegara
di Indonesia menuju Indonesia Baru yang dicita-citakan, idealnya patron dialog
yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail sudah sepatutnya dijadikan
metolodogi oleh para elit politik dalam menyelamatkan bangsa ini. Ibrahim telah
melakukan dialog secara obyektif atau secara jujur dalam bahasa agama. Oleh
karena itu, seorang pemimpin yang tidak jujur sebaiknya menyadari
ketidakjujurannya dan dengan legowo menyadari pula bahwa ia akan
mempertanggungjawabkan di hadapan Allah segala tindakannya ketika ia menjadi
pemimpin.
Allahu Akbar 3x wa Lillahi al-Hamd
Demikianlah kisah seputar Nabi Ibrahim a.s. dan
keluarganya. Kisah ini sarat dengan pesan-pesan moral. Karena itu, Marilah
kita mengambil pesan-pesan moral itu! Marilah kita mengintropeksi diri kita
masing-masing. Ibrahim adalah simbol bagi manusia yang rela mengorbankan
diri, meskipun harus dilemparkan ke dalam api; seorang yang ikhlas dan taat,
serta konsisten mempertahankan keyakinannya. Wahai para Pemimpin Negara
Indonesia, sudahkah engkau menunjukkan pengorbanan yang optimal ke
jalan yang diridai Allah, sebagaimana yang dilakukan Nabi Ibrahim? Sudahkah
engkau memperoleh iman setangguh Nabi Ibrahim? Jika dipundak anda ada jabatan
yang melekat, sudah relakah anda mengorbankan segalanya demi mempertahankan
prinsip-prinsip ajaran agama yang dianut?
Ismail sebagai simbol bagi sesuatu yang amat kita
cintai, sudah barang tentu kita semua memilikinya. Boleh jadi, Ismail selain
mengambil bentuk anak yang amat disenangi, ia pun mengambil bentuk kendaraan
baru, rumah mewah, jabatan penting, deposito, atau kekayaan lainnya. Apakah
kita sudah rela mengorbankan “Ismail-Ismail” kita untuk mencapai tujuan hidup
yang sebenarnya?
Jika kita sebagai seorang suami,
sudah sanggupkah kita meniru ketangguhan iman Ibrahim, mengorbankan sesuatu
yang paling dicintainya demi mengamalkan perintah Tuhan? Jika kita sebagai
istri, sudah sanggupkah kita meniru ketabahan dan ketaatan Sarah dan Hajar,
merelakan suaminya menjalankan perintah Tuhan dan menghargai jiwa besar
anaknya? Jika kita sebagai anak, sudahkah kita memiliki idealisme yang tangguh
seperti Nabi Ismail, rela menjadi korban untuk suatu tujuan yang mulia? Jika
kita seorang pejabat, relakah kita mengorbankan jabatan kita itu untuk tujuan
yang lebih mulia?
Tegasnya, kisah
di atas mengandung nilai-nilai dan visi pendidikan yang mengutamakan pendidikan
moral. Dengan ungkapan lain, pendidikan yang dapat melahirkan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas adalah pendidikan yang dilandasi oleh moralitas.
Tanpa moral, segala jenis pendidikan akan hanya menjadi sumber kriminalitas.
Allahu
Akbar 3x wa Lillahi al-hamd
Mudah-mudahan Allah
senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, amin.
أَقُولُ
قَولي هَذَا وَاستَغفر اللهَ العَظيم لي وَلَكُم ولسَائر المُسلمينَ وَالمُسلمَات
وَالمُؤمنينَ وَالمُؤمنَات فَاستَغفرُوهُ إنَّه هُوَ الغَفُورُ الرٌَحيم. فَأُوصيكُم
عبَادَ الله وَإيَّايَ بتَقوَى الله وَطَاعَته، فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: إنّ اللهَ
وَمَلَائكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النٌَبي يَاأَيٌُهَا الٌَذينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيه
وَ سَلّمُوا تَسليمًا. اَللٌَهُمّ صَلّ وَسَلّم وَبَارك عَلَى سَيٌدنَا مُحَمٌَد وَعَلَى
آله وَأَصحَابه وَالتٌَابعين لهَمُ بإحسَان إلى يَوم الدٌين برَحمتكَ يَاأَرحَمَ
الرَاّحمين.
Hadirin
yang berbahagia, marilah kita bersama sejenak bermunajat, memohon kepada Allah,
semoga doa kita diterima oleh-Nya!
Ya Allah, Tuhan kami
Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, kami hadir dan bersimpuh di hadapan-Mu di
tempat ini, semata-mata untuk mencari rida-Mu. Curahkanlah rahmat, ma‘unah,
dan maghfirah-Mu kepada kami semua. Anugrahkan kami iman yang tangguh,
setangguh iman yang Engkau berikan kepada keluarga Nabi Ibrahim a.s.
Hindarkanlah kami, masyarakat, dan bangsa kami dari berbagai musibah dan
perpecahan, seperti yang pernah Engkau timpakan kepada umat-umat yang anarkis
di masa lalu.
Ya Allah, Tuhan kami
Yang Mahakuasa, berikanlah petunjuk
ke jalan yang Engkau ridhai, berikan pula
semangat dan kemampuan untuk menjalani jalan lurus itu tanpa resiko yang dapat
menyulitkan kehidupan kami. Ya Allah, hanya kepada-Mu kami serahkan segalanya,
terimalah doa kami.
اَللٌَهُمّ اغفر للمُسلمينَ والمُسلمَات وَالمُؤمنينَ وَالمُؤمنَات
اَلأَحيَاء منهُم وَالأَموَات برَحمتكَ يَاأَرحَمَ الرَاّحمين، اَللٌَهُمّ انصُر مَن
نَصَرَ الدّين وَاخذل مَن خذَلَ المُسلمين وَاهلك الَكَفَرَ وَالمُشركين، رَبّنَا
آتنَا في الدٌُنيَا حَسَنَةً وَفي الأَخرَة حَسَنَةً وَ قنَا عَذَابَ النٌَار وَالحَمدُ
لله رَبّ العَالمَين.
والله اعلم بالصواب
Tidak ada komentar:
Posting Komentar