Selasa, 17 Mei 2011

PETUNJUK PRAKTIS TAHSÎN TARTÎL AL-QUR’AN


PETUNJUK PRAKTIS
TAHSÎN TARTÎL AL-QUR’AN
UNTUK RIWÂYAT HAFS1 DARI IMAM ‘ÂSIM
MENURUT TARÎQ ASY- SYÂTIBIYYAH2
Allah yang menurunkan Al-Qur’an sebagai “bacaan mulia” agar dapat
menjadi petunjuk bagi manusia dan pembeda antara yang benar dan batil,
sangat peduli dan tidak segan-segan memberi warning untuk tidak membacanya
dengan “asal membaca”. Ini dapat dilihat pada pesan serius-Nya di surah al-
Muzzammil ورِتلِ الُْقرءَانَ ترتيلاً : 4 “bacalah Al-Qur’an dengan tartil yang optimal”.
Artinya perintah membaca Al-Qur’an adalah bukan sekedar dengan cara sekedar
“tartil”, akan tetapi dengan “tartil yang benar-benar berkualitas”. Menurut ‘Alî
bin Abî Tâlib, tartil di sini mempunyai arti تجوِي  د الْ  حروف ومعرِفَُة اْل  وُقوف
“membaguskan bacaan huruf-huruf Al-Qur’an dan mengetahui hal ihwal waqaf
”. Dengan demikian, maksud “tartîl yang optimal” adalah melafazkan ayat-ayat
Al-Qur’an sebagus dan semaksimal mungkin.
Untuk mencapai tingkat bacaan tartil yang optimal di dalam buku acuan ini akan
dibahas bab-bab penting tertentu yang harus dikuasai oleh pembaca Al-Qur’an baik
secara teori maupun praktek. Artinya, apabila salah satu atau sebagian bab tidak atau
kurang dikuasai, tentu hasilnya kurang memadai bahkan boleh jadi sasaran dapat
mencapai bacaan tartil yang berkualitas tidak akan tercapai.
Adapun bab-bab yang dimaksud adalah:
- Sifât Huruf Lâzimah yang kuat & yang lemah
- Makhraj & Sifat ( Karakteristik ) Huruf Hijâiyyah
1 Hafs ( 90 H- 180 H/ 708 M- 796 M ) merupakan salah satu perawi Imam ‘Âsim, nama
lengkapnya adalah Abû 'Amr Hafs bin Sulaimân. Mata rantai Sanad-nya dari 'Âsim (w.128 H/ 745
M), 'Âsim dari Abû ‘Abdur Rahmân bin Hubaib, Abû dari Ibnu Mas'ûd - Utsmân bin 'Affân- ‘Alî bin
Abî Tâlib-Ubay bin Ka'ab- Zaid bin Tsâbit, dan mereka dari Rasulullah SAW.
2 Tarîq asy-Syâtibiyyah adalah paket jalur periwayatan bacaan Al Qur'an yang dipilih,
dibakukan, dan dipopulerkan oleh Imâm Syâtibiy (538 H-.590 H/ 1143 M- 1194 M), di mana jalur
periwayatan ini terjadi pada masa sesudah dekade Hafs. Nama lengkap Imâm Syâtibiy adalah
Abul Qâsim bin Firrûh bin Khalaf bin Ahmad asy-Syâtibiy ar-Ru‘ainiy.
- Pengaruh dialek ke-daerahan di dalam pengucapan Huruf Hijâiyyah
- Latihan praktek pengucapan Huruf Hijâiyyah sesuai dengan Makhraj &
Sifâtnya.
- IDBILÂBIKH FÂSYAMÎGHUN
- Latihan praktek Idghâm bi Ghunnah
- Latihan praktek Iqlâb
- Latihan praktek Ikhfâ’
- Latihan praktek Ikhfâ’ Syafawiy
- Latihan praktek Idghâm Mîmiy
- Latihan praktek Ghunnah
- Mad Tabî‘iy dan latihan praktek
- Praktek Mad Tabî‘iy pada Fawâtihus Suwâr
- Mad Wâjib Muttasil dan latihan praktek
- Mad Jâiz Munfasil dan latihan praktek
- Mad ‘Ârid lis Sukûn dan latihan praktek
- Mad Lein dan latihan praktek
- Mad Lâzim dan latihan praktek
- Praktek Mad Lâzim dan Huruf ع pada Fawâtihus Suwâr
- Idghâm Mutamâtsilein dan praktek
- Idghâm Mutajânisein dan praktek
- Idghâm Mutaqâribein dan praktek
- Saktah dan prakteknya
- Tafkhîm dan Tarqîq Râ’ serta prakteknya
- Waqaf dan Ibtidâ’ serta prakteknya
- Waqaf Ikhtiyariy: Waqaf Tâm, Waqaf Kâfîy, Waqaf Hasan, Waqaf Qabîh, dan
Aqbahul Waqf, serta prakteknya
- Musykilâtul Kalimât dan prakteknya
I. SIFÂT HURUF LÂZIMAH YANG KUAT & YANG LEMAH (صفَا  ت الْ  حروف الاَّزِمة وصفَاتها الْقَوِية والضعيفَة )
Sifât Hurûf (  صفَات الْحروف ) menurut arti bahasa adalah
karakteristik dari sesuatu (watak) - seperti warna putih, hitam, merah dan
sebagainya. Sedang menurut arti istilah adalah tata cara atau prilaku
bunyi huruf ketika keluar dari makhrajnya, seperti Jahr, Hams, Syiddah,
dan lain-lain. Berdasarkan pendapat yang populer di kalangan Ulama
Tajwid, Huruf Hijâiyyah mempunyai 18 ( delapan belas ) Sifât Lâzimah,3
dengan rincian ada 5 (lima) sifât yang mempunyai sifât berlawanan,
sedang selebihnya tidak mempunyai sifât yang berlawanan.
Adapun penjelasannya sebagaimana berikut:
No Sifât Lâzimah Huruf-Hurufnya
Karakter
Kuat & Lemah
4
1
Hams ( : ( اَلْهم  س
Berdesis / nafas berhembus
>< الْجهر
ف ح ث ه ش خ ص س ك ت
( فَحثَّه شخ  ص سكَت )
Berkarakter
Lemah.
2 Jahr ( : ( الْجهر
Nafas ditahan
ع ظ م و ز ن ق رء ذ ي غ Berkarakter
Kuat.
3 Sifât Lâzimah atau Sifât Dzâtiyyah ialah sifat asli huruf yang melekat padanya dan tidak
dapat lepas darinya, misalnya Hams – Jahr dst. Adapun Sifât 'Âridah adalah sifât tambahan yang
datang kemudian, misalnya Tafkhîm – Idghâm – Ikhfâ’- dan Imâlah.
4 Huruf yang mempunyai karakter kuat adalah agak berat diucapkan ; maka ketika sifâtsifât
hurufnya yang kuat lebih dominan- misalnya huruf ط - maka karakternya menjadi kuat.
Sebaliknya bila yang dominan sifat-sifat hurufnya yang lemah- misalnya huruf ف - maka
karakternya menjadi lemah (ringan diucapkan). Begitu juga ketika antara sifat-sifat hurufnya
sebanding –artinya tidak ada yang lebih dominan antara sifat-sifatnya, baik yang kuat dan yang
lemah - misalnya huruf ب - maka karakternya menjadi sedang ( tidak berat dan juga tidak ringan
untuk diucapkan).
ض ج د ط ل ب
(ع ُ ظم وز ُ ن قَارئٍ ذي غَض جد طَلَب)
3 Syiddah ( :( الشدُ ة
Suara tertahan ><
الرخاوُة
ء ج د ق ط ب ك ت
( أَجِد قَط بكَت )
Berkarakter
Kuat
4 Rakhâwah ( :( الرخاوُة
Lunak dan suara
tidak tertahan
خ ذ غ ث ح ظ ف ض ش و
ص ز ي س ه
(  خذْ غثَّ حظٍّ ُفض شوص زِي ساه)
Berkarakter
Lemah
5 Bainiyah/Tawassut
الْبينِيُة \ التوس ُ ط) ): Suara
tidak tertahan dengan
sempurna dan tidak
terlepas dengan
sempurna.
ل ن ع م ر
( لن  عمر )
Berkarakter
antara
Syiddah dan
Rakhâwah,
yakni Sedang
6 Isti‘lâ‘ ( : (اْلإِستعلاَءُ
Pangkal lidah naik ke
langit - langit ><
اْلإِستفَا ُ ل
خ ص ض غ ط ق ظ
(  خص ضغط قظْ )
Berkarakter
Kuat
7 Istifâl ( : ( اْلإِستفَا ُ ل
Lidah di bawah.
ث ب ت ع ز م ن ي ج و د
ح ر ف ه ء ذ س ل ش ك
Berkarakter
Lemah
(ثَبت عز من يجود حرفَه إذْ سلَّ شكَا)
8
Itbâq ( :( اْلإِطْبا  ق
Lidah bertemu dengan
langit – langit
اْلإِنفتا  ح ><
ص ض ط ظ Berkarakter
Kuat
9 Infitâh ( : ( اْلإِنفتا  ح
terbuka antara lidah
dan langit-langit.
م ن ء خ ذ و ج د س ع ت ف ز ك ح
ق ل ه ش ر ب غ ي ث
(من أَخذَ وِجد سعة فَزكَا حق لَه
 شر  ب غَيث)
Berkarakter
Lemah
10 Idzlâq ( : ( الإِذْلاَ  ق
Keluarnya lancar/
ringan >< اْلإِصما  ت
ف ر م ن ل ب
( فر من لَب )
Berkarakter
Sedang
11 Ismât ( : ( اْلإِصما  ت
Tidak lancar dan hatihati.
ج ز غ ش س ح ط ص د ث ق ت
ء ذ و ع ظ ه ي خ ض ك
(  جز غش سا حط صد ثقَةً إِذْ
وع ُ ظه يَخُضُّك)
Berkarakter
Sedang
12
Safîr ( : ( الصفير
Suaranya berdesir.
ص ز س Berkarakter
Kuat
13 Qalqalah ( : ( الْقَلْقَلَُة
Memantulkan suara
tambahan.
ق ط ب ج د
(قَطْ  ب جد)
Berkarakter
Kuat
14 Inhirâf ( : ( اْلإِنحرا  ف
Lenturan ujung lidah
condong ke punggung
lidah.
ل ر Berkarakter
Kuat
15 Takrîr ( التكْرِير ) : Satu
kali getaran halus
ujung lidah
ر Berkarakter
Kuat
16 Istitâla( : ( اْلإِستطَالَُة
Memelarkan dan
menggelayutkan suara
mulai dari tepi /
pangkal lidah setelah
makhraj ج , maju
sampai makhraj . ل
ض Berkarakter
Kuat
17 Tafasysyiy ( : ( التفَشّي
Bunyinya bersamaan
dengan tersebarnya
angin kuat yang
keluar dari dalam
mulut.
ش Berkarakter
Kuat
18 Ghunnah ( : ( الْغنُة
Berdengung
م ن Berkarakter
Kuat
II. MAKHRAJ & SIFAT ( KARAKTERISTIK ) HURUF HIJÂIYYAH
( مخارِ  ج  حروف الْهِجائية وصفَاتها )
No Huruf Makhraj
(Tempat Keluar)
Sifat-Sifat
(Karakteristik)
1
Huruf Mad
a. ..َ.. ا
b.  .. .ُ. و
c.  .. .ِ.ي
Al Jauf (rongga mulut)
Tebal tipisnya mengikuti
huruf sebelumnya.
ب 2
Dua perut bibir sebelah
dalam
(انطبا  ق الشفَتينِ)
1. Nafas ditahan (Jahr)
2. Suara tertahan (Syiddah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit-langit atas (Infitâh)
5. Keluarnya lancar/ringan
(Idzlâq)
6. Memantulkan suara
tambahan (Qalqalah).
ت 3
Antara punggung ujung lidah
dan pangkal dua gigi muka
yang atas.
(مابين ظَهرِ رأْسِ اللِّسان)
1. Berdesis/nafas
berhembus (Hams)
2. Suara tertahan (Syiddah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit-langit atas (Infitâh)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
ث 4
Antara punggung ujung lidah
dan ujung dua gigi yang atas
(طَر  ف اللِّسان من جِهة ظَهرِه)
1. Berdesis/nafas
berhembus (Hams)
2. Kendor, lunak, dan
suara tidak tertahan
(Rakhâwah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit-langit atas (Infitâh)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
ج 5
Tengah-tengah lidah dengan
langit-langit
( مابين وسط اللِّسان )
1. Nafas ditahan (Jahr)
2. Suara tertahan (Syiddah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit-langit atas (Infitâh)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
6. Memantulkan suara
tambahan (Qalqalah)
ح 6
Tenggorokan bagian tengah
( وس ُ ط الْحلْقِ )
1. Nafas berhembus (Hams)
2. Lunak dan suara tidak
tertahan (Rakhâwah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit - langit atas
(Infitâh)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
خ 7
Ujung tenggorokan yang
paling dekat dengan lidah
( أدنى الْحلْقِ )
1. Nafas berhembus (Hams)
2. Lunak dan suara tidak
tertahan (Rakhâwah)
3. Mengangkat pangkal
lidah ke langit - langit
(Isti‘lâ‘)
4. Terbuka antara lidah dan
langit-langit atas (Infitâh)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
د 8
Antara punggung ujung lidah
dan pangkal dua gigi muka
yang atas
1. Nafas ditahan (Jahr)
2. Suara tertahan (Syiddah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit-langit atas (Infitâh)
( مابين ظَهرِ رأْسِ اللِّسان )
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
6. Memantulkan suara
tambahan (Qalqalah)
ذ 9
Antara punggung ujung lidah
dan ujung dua gigi muka yang
atas
(طَر  ف اللِّسان من جِهة ظَهرِه)
1. Nafas ditahan (Jahr)
2. Lunak dan suara tidak
tertahan (Rakhâwah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit-langit atas (Infitâh)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
ر 10
Ujung lidah, dekat makhraj
“ ن “
( مابين رأْسِ اللِّسان مع ظَهرِه )
1. Nafas ditahan (Jahr)
2. Suara tidak tercegah
dengan sempurna dan
tidak terlepas dengan
sempurna (Bainiyah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit-langit atas (Infitâh)
5. Keluarnya lancar/ringan
(Idzlâq)
6. Lenturan ujung lidah
condong kepunggung
lidah (Inhirâf)
7. Satu kali getaran halus
ujung lidah (Takrîr)
ز 11
Antara ujung lidah dan
halaman dua gigi muka atas
( مابين طَرف اللِّسان )
1. Nafas ditahan (Jahr)
2. Lunak dan suara tidak
tertahan (Rakhâwah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit-langit atas (Infitâh)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
6. Suaranya berdesir (Safîr)
س 12
Antara ujung lidah dan
halaman dua gigi muka atas
( مابين طَرف اللِّسان )
1. Berdesis lepas (Hams)
2. Lunak dan suara tidak
tertahan (Rakhâwah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit-langit atas (Infitâh)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
6. Suaranya berdesir (Safîr)
13
ش
Tengah ujung lidah dengan
langit-langit
( مابين وس ُ ط اللِّسان )
1. Berdesis lepas (Hams)
2. Lunak dan suara tidak
tertahan (Rakhâwah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit-langit atas (Infitâh)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
6. Bunyinya bersamaan
dengan tersebarnya
angin kuat yang keluar
dari dalam mulut
(Tafasysyiy)
ص 14
Antara ujung lidah dan
halaman dua gigi muka atas
( مابين طَرف اللِّسان )
1. Berdesis lepas (Hams)
2. Lunak dan suara tidak
tertahan (Rakhâwah)
3. Pangkal lidah naik ke
langit-langit (Isti‘lâ‘)
4. Lidah bertemu / nempel
dengan langit - langit
(Itbâq)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
6. Suaranya berdesir (Safîr)
ض 15
Permukaan ujung lidah dan
dua / salah satu pinggir lidah
beradu dengan geraham atas
1. Nafas ditahan (Jahr)
2. Lunak dan suara tidak
tertahan (Rakhâwah)
( إِحدى حافَتي اللِّسان/
حاَفَتي اللِّسان )
3. Pangkal lidah naik ke
langit-langit (Isti‘lâ‘)
4. Lidah bertemu dengan
langit - langit (Itbâq)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
6. Memelarkan dan menggelayutkan
suara mulai
dari tepi lidah / pangkal
lidah setelah makhrajnya
ج maju sampai
makhraj ل (Istitâlah).
ط 16
Antara punggung ujung lidah
dan pangkal dua gigi muka
yang atas
( مابين ظَهرِ رأسِ اللِّسان )
1. Nafas ditahan (Jahr)
2. Suara tertahan (Syiddah)
3. Pangkal lidah naik ke
langit-langit (Isti‘lâ‘)
4. Lidah bertemu dengan
langit-langit (Itbâq)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
6. Memantulkan suara
tambahan (Qalqalah)
ظ 17
Antara punggung ujung lidah
dan ujung dua gigi yang atas
( طَر  ف اللِّسان من جِهة
ظَهرِه )
1. Nafas ditahan (Jahr)
2. Lunak dan suara tidak
tertahan (Rakhâwah)
3. Pangkal lidah naik ke
langit-langit (Isti‘lâ‘)
4. Lidah bertemu dengan
langit - langit (Itbâq)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
ع 18
Tenggorokan bagian tengah
( وس ُ ط الْحلْقِ )
1. Nafas ditahan (Jahr)
2. Suara tidak tercegah
dengan sempurna dan
tidak terlepas dengan
sempurna (Bainiyah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit-langit atas (Infitâh)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
غ 19
Ujung tenggorokan yang
paling dekat dengan lidah
( أدنى الْحلْقِ )
1. Nafas ditahan (Jahr)
2. Lunak dan suara tidak
tertahan (Rakhâwah)
3. Pangkal lidah naik ke
langit-langit (Isti‘lâ‘)
4. Terbuka antara lidah dan
langit - langit (Infitâh)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
ف 20
Perut bibir bawah dan ujung
dua gigi yang atas
( مابين باطنِ الشفَة السفْلَى)
1. Berdesis lepas (Hams)
2. Lunak dan suara tidak
tertahan (Rakhâwah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit - langit (Infitâh)
5. Keluarnya lancar/ringan
(Idzlâq)
ق 21
Pangkal lidah dan langitlangit
( مابين أَقْصى اللِّسان )
1. Nafas ditahan (Jahr)
2. Suara tertahan (Syiddah)
3. Pangkal lidah naik ke
langit - langit (Isti‘lâ‘)
4. Terbuka antara lidah dan
langit-langit (Infitâh)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
6. Memantulkan suara
tambahan (Qalqalah)
ك 22 Di muka makhraj ق
1. Nafas berhembus (Hams)
2. Suara tertahan (Syiddah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
( مابين أَقْصى اللِّسان )
4. Terbuka antara lidah dan
langit - langit (Infitâh)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
ل 23
Kepala lidah dan gusi muka
yang atas
( مابين أَقْصى الِّلسان )
1. Nafas ditahan (Jahr)
2. Suara tidak tercegah
dengan sempurna dan
tidak terlepas dengan
sempurna (Bainiyah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit - langit (Infitâh)
5. Keluarnya lancar/ringan
(Idzlâq)
6. Lenturan ujung lidah
condong ke punggung
lidah (Inhirâf)
م 24
Dua perut bibir bagian
tengah
( إِنطبا  ق أَلشفَتينِ )
1. Nafas ditahan (Jahr)
2. Suara tidak tercegah
dengan sempurna dan
tidak terlepas dengan
sempurna (Bainiyah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit-langit (Infitâh)
5. Keluarnya lancar/ringan
(Idzlâq)
6. Berdengung (Ghunnah)
ن 25
Ujung lidah di bawah
makhraj “ ل
( مابين رأْسِ الْلِّسان )
1. Nafas ditahan (Jahr)
2. Suara tidak tercegah
dengan sempurna dan
tidak terlepas dengan
sempurna (Bainiyah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit - langit (Infitâh)
5. Keluarnya lancar/ringan
(Idzlâq)
6. Dengung (Ghunnah)
و 26
Antara dua perut bibir
( إِنفتاَ  ح الشفَتينِ )
1. Nafas ditahan (Jahr)
2. Lunak dan suara tidak
tertahan (Rakhâwah)
3. Lidah di bawah (Istifal)
4. Terbuka antara lidah dan
langit-langit (Infitâh)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
ه 27
Tenggorokan yang paling
dalam
( أَقْصى الْحلْقِ )
1. Nafas berhembus (Hams)
2. Lunak dan suara tidak
tertahan (Rakhâwah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit-langit (Infitâh)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
ء 28
Tenggorokan yang paling
dalam
( أَقْصى الْحلْقِ )
1. Nafas ditahan (Jahr)
2. Suara tertahan (Syiddah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit-langit (Infitâh)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
ي 29
Tengah lidah dan langit-langit
( ما بين وسط اللِّسان )
1. Nafas ditahan (Jahr)
2. Lunak dan suara tidak
tertahan (Rakhâwah)
3. Lidah di bawah (Istifâl)
4. Terbuka antara lidah dan
langit-langit (Infitâh)
5. Tidak lancar dan hati-hati
(Ismât)
III. PENGARUH DIALEK KE- DAERAHAN5
DI DALAM PENGUCAPAN HURUF HIJÂIYYAH
Al-Qur’an adalah terdiri dari ayat-ayat Al-Qur’an; ayat Al-Qur’an terdiri
dari lafaz-lafaz, dan lafaz terdiri dari Huruf Hijâiyyah. Oleh karenanya bacaan Al-
Qur’an tidak mungkin dapat mencapai standar baik dan benar secara maksimal
ketika masing-masing Huruf Hijâiyyah diucapkan dengan tidak tepat atau tidak
sesuai dengan makhraj dan sifât-nya sebagaimana yang telah dikodifikasikan
oleh para ulama Al-Qur’an.
Bangsa Indonesia sebagai bangsa A‘jami (non Arab) yang terdiri dari
bermacam suku bangsa dan menempati lokal geografi yang berlainan, tentunya
mempunyai lahjah dan dialek yang berbeda. Namun apabila lahjah kedaerahan
dibawa oleh seseorang keranah bacaan Al-Qur'an belum tentu sesuai benar
dengan lisan ‘Arabiy di mana Al-Qur'an diturunkan, utamanya ketika
mengucapkan huruf-huruf Al-Qur'an yang tidak bersesuaian dengan lahjah
pembaca.
Maka dari itu agar supaya sebuah bacaan Al-Qur'an dapat mencapai
standar tartil yang optimal, seorang pembaca harus sadar dan tahu betul bahwa
masing-masing dialek ke-daerahan atau lahjah suku bangsa di Indonesia masingmasing
mempunyai kelemahan dan kelebihan di dalam tepat dan tidaknya
pengucapan Huruf Hijâiyyah apabila ditinjau dari sudut pandang disiplin Ilmu
Tajwid.
5Maksud dialek ke-daerahan adalah dialek daerah bagi orang yang belum ahli membaca
Al- Qur'an.
Berikut di bawah ini akan diuraikan penjelasan kongkritnya :
a. Huruf ج – ب – dan د , barangkali agak sulit diucapkan secara tepat oleh
suku bangsa Jawa yang tidak ahli Al-Qur'an, sebab menurut lahjah bahasa
Jawa – ketiga huruf tersebut biasa diucapkan dengan karakter Sifat Hams
(nafas berhembus). Ini tentu tidak tepat, sebab menurut disiplin Ilmu Tajwid
ketiga huruf tersebut seharusnya memakai karakter Sifât Jahr (nafas ditahan)
dan Sifat Syiddah ( suara tertahan ).
Khusus pengucapan huruf د, bagi suku bangsa Sunda – Betawi – dan luar
Jawa, pada umumnya mengucapkan seperti huruf “d” pada kata “dada”.
Dengan demikian, ketika mereka mengucapkan lafaz الْحم  د , makhraj huruf د
diucapkan dengan ujung lidah yang menyentuh / bertemu gusi muka yang
atas; padahal makhraj yang benar adalah pada punggung ujung lidah yang
menyentuh pangkal gigi dua muka atas.
b. Huruf ت, barangkali agak sulit diucapkan secara tepat oleh mayoritas bangsa
Indonesia termasuk Melayu. Walaupun mereka terbiasa mengucapkan huruf
“t” dengan memakai makhraj yang benar- yakni punggung ujung lidah yang
menyentuh pangkal dua gigi muka atas, namun memakai Sifat Jahr (nafas
ditahan), misalnya mengucapkan tempe/ tahu/ catat. Padahal pengucapan
huruf ت yang benar tidaklah sama dengan pengucapan huruf “t” tersebut,
artinya pengucapan huruf ت haruslah memakai Sifat Hams (nafas berdesis) –
apalagi ketika huruf ت di-sukûn atau mati ( ت). Lain halnya dengan
pengucapan huruf “t” bagi orang Bali – NTB – dan Aceh. Mereka terbiasa
mengucapkannya dengan posisi ujung lidah yang menyentuh atau bertemu
dengan gusi muka atas. Ini tentu kurang tepat, sebab pengucapan huruf
ت disamakan dengan pengucapan huruf “ t ” mereka; seharusnya makraj
huruf ت adalah punggung ujung lidah menyentuh pangkal dua gigi muka
atas.
c. Huruf ح , dapat dikatakan bahwa mayoritas bangsa Indonesia agak menemui
kesulitan di dalam mengucapkannya. Sebab mereka terbiasa atau mungkin
terkontaminasi dengan transliterasi Arab – Latin huruf ح yang menjadi “h”.
Misalnya penulisan بسمِ الّله الرحمنِ الرحيمِ –transliterasinya ditulis
Bismillaahirrahmaanirrahim. Dari sini timbul kerancuan pengucapan “h” pada
Bismillâhi dan pengucapan “h” pada Ar- Rahmân. Padahal karakter masingmasing
" h " di dua tempat tersebut sangat berbeda, sebab “h” yang
pertama adalah translit huruf ه ( ket: makhrajnya di tenggorokan yang
paling dalam) dan yang kedua adalah translit huruf ح ( ket: makhrajnya
ditenggorokan bagian tengah). Barangkali untuk mengetahui pengucapan
huruf ح (apalagi yang mati/sukûn) dengan tepat dan mudah adalah seperti
suara seseorang ketika mengalami rasa terlalu pedas di mulutnya.
d. Huruf ذ , ada kesulitan mengucapkannya dengan tepat bagi masyarakat
Betawi yang belum ahli membaca Al-Qur’an. Sebab mereka pada umumnya
mengucapkan huruf ذ dengan huruf ز (z). Contohnya mereka membaca أَ  عوُذ
dengan “a‘ûzu”. Ini tentu salah besar, sebab makhraj-nya adalah
memposisikan ujung lidah berada pada halaman dua gigi muka atas yang
disertai dengan Sifat Hams ( nafas berdesis). Seharusnya makhraj huruf ذ
adalah punggung ujung lidah di pertemukan dengan ujung dua gigi muka atas
dan memakai Sifat Jahr (nafas ditahan).
e. Huruf ر , ada kesulitan mengucapkannya dengan tepat bagi masyarakat
umum bangsa Indonesia termasuk sebagian Melayu. Sebab mereka
mengucapkan huruf ر dengan getaran ujung lidah yang berlebihan. Padahal
seyogyanya mengucapkan huruf ر adalah memakai Sifat Takrîr, yakni satu kali
getaran halus ujung lidah.
Berbeda dengan pengucapan huruf ر oleh saudara kita dari Bengkulu, dimana
mereka mempraktekkan Sifat Takrîr ini dengan getaran anak lidah di ujung
tenggorokannya. Apabila pengucapan semacam ini terbawa ketika membaca
Al-Qur’an tentu dapat dikatakan tidak tepat.
Koreksi lain yang perlu dicermati lagi adalah ketika membaca lafaz شهر رمضانَ
oleh saudara kita dari Sulawesi. Mereka mempunyai dialek, pengucapan
huruf p رada lafaz رمضان seperti membaca “ra” pada kata “radio” . Ini tentu
kurang tepat, sebab huruf  ر yang berharakat Fathah adalah harus dibaca
tebal (Tafkhîm).
f. Huruf ز yang berharakat Fathah, ada kesulitan mengucapkannya dengan
tepat bagi sebagian masyarakat Betawi. Sebab ketika mengucapkan kata
“zakat” mereka mengcapakan dengan “jakat”, sehingga ketika membaca
وءَاتواالزكوة - huruf ز dibaca “j”, yakni “wa âtujjakât”.
Masyarakat Sulawesi Selatan (misalnya masyarakat Bugis yang belum ahli
membaca Al-Qur’an) juga mempunyai kelemahan pada pengucapan huruf . ز
Masyarakat awam di sana cenderung membacanya dengan س , misalnya kata
“zakat” akan diucapkan “sakat”. Padahal makhraj huruf ز yang benar adalah
antara ujung lidah dan halaman dua gigi muka atas, serta memakai Sifat Jahr
(nafas ditahan). Dengan demikian, kita harus cermat di dalam
mengucapkannya. Sebab makhraj dan semua sifat-nya sama dengan huruf ;س
yang berbeda hanya satu sifât - yaitu untuk huruf ز memakai Sifat Jahr
(nafas ditahan), sedang huruf س memakai Sifat Hams (nafas berdesis). Lebihlebih
ketika mengucapkan sukûn -nya huruf ز sebagaimana pada lafaz  - كَنزتم
مزجات  , pengucapan huruf ز harus hati-hati jangan sampai ada suara
berdesis yang keluar dari mulut.
g. Huruf ص , ada kesulitan mengucapkannya dengan tepat bagi sebagian
masyarakat luar Jawa. Sebab mereka terbiasa mengucapkan huruf ص yang
berharakat Fathah dengan hampir mirip huruf س yang berharakat Fathah.
Padahal seharusnya pengucapan huruf ص yang benar menurut disiplin Ilmu
Tajwid haruslah dibaca tebal (Tafkhîm), yakni kedua bibir hampir mirip mulut
seseorang yang hendak bersiul dan mulut dalam posisi dipenuhi oleh gema
suaranya – sebab ia sebagai salah satu Huruf Isti‘lâ‘.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh masyarakat Indonesia, bahwa
pengucapan huruf ص yang berharakat Fathah bukan pula seperti
mengucapkan “so”- nya nama “Suroso” ketika nama tersebut diucapkam
oleh orang Jawa atau Melayu. Singkatnya, oleh karena huruf ini tidak
terdapat pada huruf Latin (Indonesia), maka agar dapat tepat
mengucapkannya haruslah bermusyafahah pada guru ahli Al-Qur’an .
h. Huruf ض , barangkali huruf yang paling sulit diucapkan oleh masyarakat
non Arab. Bahkan menurut para ulama Al-Qur’an, pengucapan huruf ض ini
tidak ada yang dapat menandingi ketepatan pengucapan Rasulullah SAW.
Ketika ia berharakat Fathah tidak boleh diucapkan seperti “do”- nya kata
“dodol Garut” yang diucapkan oleh saudara kita dari Sunda atau Betawi ;
sebab posisi ujung lidah mereka bertemu gusi muka bagian atas. Begitu juga
tidak pula seperti pengucapan sebagian kecil masyarakat Jawa, di mana
mereka mengucapkan huruf ض yang berharakat Fathah adalah seperti
“ndo”-nya kata “ndoro kakung” (ket: bahasa Jawa “tuan”). Sebab apabila
demikian pengucapannya - berarti makhrajnya berada di punggung ujung
lidah yang bertemu gusi muka atas yang disertai bunyi konsonan “n”.
Padahal pengucapan huruf ض yang benar adalah posisi permukaan ujung dan
tepi lidah beradu dengan geraham atas, disertai pula pangkal lidah yang naik
kelangit-langit (posisi lidah otomatis bertemu langit-langit), dan ketika
mengucapkannya nafas tertahan namun bersuara lunak serta tidak lancarmengesankan
kehati-hatian, dengan disertai pula suara melar agak
menggelayut- mirip rem kendaraan ( ..nndt.. ); dan mulut dalam posisi
dipenuhi oleh gema suaranya. Agar tepat betul di dalam mengucapkan huruf
ض, haruslah di-musyafahahkan kepada ahli membaca Al-Qur’an.
i. Huruf ط, dapat dikatakan sebagian besar orang Indonesia / Melayu yang baru
mengenal huruf ini agak sulit mengucapkannya dengan tepat. Sebab mereka
akan mengucapkan huruf ط yang berharakat Fathah seperti “to”-nya nama
“Suroto” yang diucapkam oleh orang Jawa atau Melayu; artinya dicapkan
dengan tidak memakai Sifat Isti‘lâ‘ (pangkal lidah naik ke langit-langit), dan
tidak pula memakai Sifât Itbâq (lidah bertemu dengan langit-langit), juga
tidak memakai Sifat Ismât (tidak lancar dan hati-hati). Pengucapan yang
benar adalah ke tiga sifat tersebut harus diperhatikan, dan mulut dalam
posisi dipenuhi gema suaranya. Agar pengucapannya tepat- haruslah
ditunjang dengan bermusyafahah di hadapan guru ahli Al-Qur’an.
Lain lagi saudara kita dari Aceh, Bali, dan NTB yang mengucapkan huruf ط
dengan posisi ujung lidah beradu dengan gusi muka atas. Ini tentu kurang
tepat, sebab seharusnya posisi punggung ujung lidah bertemu dengan
pangkal dua gigi muka atas, sebagaimana ketentuan makhrajnya yang
dijelaskan di dalam Ilmu Tajwid.
j. Huruf ظ, agak sulit diucapkan secara tepat oleh sebagaian masyarakat
Betawi atau masyarakat secara umum. Sebab ketika huruf ظ berharakat
Fathah, misalnya mengucapkan lafaz ظَالم , mereka akan membaca dengan
“zolim”, artinya suku kata “zo” dibaca dengan posisi makhraj ujung lidah
berada pada halaman dua gigi muka atas yang disertai dengan Sifat Hams
(nafas berdesis). Ini tentu tidak benar, sebab pengucapan yang tepat
haruslah memakai makhraj punggung ujung lidah di pertemukan dengan
ujung dua gigi muka atas dan memakai Sifat Jahr (nafas ditahan), disamping
juga memperhatikan sifat-sifat lain yang ada padanya, diantaranya Sifat
Isti‘lâ‘ (pangkal lidah naik ke langit-langit) dan tentunya harus dibaca Tafkhîm
(tebal)-yakni dengan posisi kedua bibir dimajukan, Sifat Itbâq (lidah bertemu
dengan langit-langit), dan juga Sifat Ismât (tidak lancar dan hati-hati) dan
mulut dalam posisi dipenuhi oleh gema suaranya. Agar tepat di dalam
mengucapkan huruf ظ, haruslah di-musyafahahkan kepada ahli Al-Qur’an.
k. Huruf ع, agak sulit diucapkan bangsa Indonesia /Melayu dengan tepat,
sebab mereka pada umumnya mengucapkan huruf ع ini seperti huruf ء
(seperti vokal “a, i, u”). Berarti mereka mengucapkan huruf ع hidup dengan
memakai makhraj tenggorokan yang paling dalam; padahal makhraj yang
benar adalah di tenggorokan bagian tengah. Agar tepat betul haruslah
ditashih-kan kepada guru ahli Al-Qur’an.
Ada satu lagi yang perlu koreksi atas pengucapan huruf ع oleh sebagian
masyarakat Jawa – utamanya Jawa Tengah. Sebab mereka mengucapkan
huruf ع yang berharakat Fathah dengan ucapan “nga”, sehingga ketika ada
lafaz  أَنعمت , dibacalah dengan “an-ngamta”. Berarti mereka memakai
makhraj pada ujung tenggorokan paling dekat dengan lidah (anak lidah);
padahal sekali lagi bahwa makhraj huruf ع yang benar adalah tenggorokan
bagian tengah.
l. Huruf غ, yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai menggetarkan
pangkal lidah yang naik ke langit-langit menyerupai orang ngorok pada
waktu tidur. Ini tentu tidak benar adanya, sebab bila demikian halnya berarti
tidak memakai Sifat Jahr atau dengan kata lain mereka memakai Sifat Hams
(nafas berhembus) di samping tidak pula memakai sifat lainnya yaitu Sifat
Ismât ( hati-hati )
Ada satu koreksi lagi bagi sebagian orang Jawa ketika mengucapkan huruf غ
yang berharakat Fathah . Mereka mengucapkannya dengan “nggo”, persis
seperti ketika mengucapkan “go “ pada kata “ godok” yang diucapakan
dengan “nggodok”. Berarti mereka memberi sifat kepadanya dengan mirip
Sifat Ghunnah; padahal di antara sifat – sifatnya tidak dijumpai Sifat Ghunnah
tersebut.
m. Huruf ف, ketika diucapkan oleh sebagian masyarakat Indonesia, utamanya
masyarakat Betawi, dapat dikatakan kurang tepat, sebab sebagian dari
mereka mengucapkan huruf ف yang hidup seperti huruf “p” (pa-pi-pu).
Berarti mereka memakai makhraj pada dua perut bibir sebelah dalam.
Padahal makhraj yang benar adalah memakai perut bibir bawah dan ujung
dua gigi yang atas, di samping di antara sifat yang ada padanya yang harus
diperhatikan adalah Sifat Hams (nafas berhembus).
n. Huruf ق , ketika diucapkan oleh sebahagian masyarakat Indonesia luar Jawa,
boleh dikatakan kurang tepat cara mengucapkannya, sebab ketika huruf ق
berharakat Fathah, mereka cenderung hampir mirip mengucapkan dengan
“ka” pada kata “kalau”, sehingga sifat tebal (Tafkhîm) huruf ق yang sebagai
salah satu sifat Huruf Isti‘lâ’ kurang terpenuhi.
Ada lagi sebagian masyarakat Indonesia yang mengucapkan huruf ق dengan
Sifat Hams (nafas berhembus) dan Rakhâwah (lunak dan suara tidak
tertahan). Padahal diantara sifat - sifat yang ada padanya dan harus
diperhatikan adalah Sifat Jahr (nafas ditahan) dan Sifat Syiddah (suara
tertahan).
o. Huruf ك, agak sulit tepat bila diucapkan oleh sebagian masyarakat Indonesia
/ Melayu. Sebab mereka tidak mengucapkannya dengan Sifat Hams (nafas
berhembus), apalagi bila huruf ك dalam posisi mati /sukûn, misalnya
membaca lafaz أَكْبر , pastilah pengucapan huruf ك sukûn tidak ada hembusan
nafas di muka pangkal lidah dan langit-langit. Padahal yang benar haruslah
ada hembusan nafas di muka pangkal lidah tersebut, sebab salah satu sifat
yang harus diperhatikan adalah Sifat Hams.
p. Huruf ل , agak sulit tepat jika diucapkan oleh saudara kita dari masyarakat
daerah Tegal hingga Indramayu dan sekitarnya, sebab ketika mengucapkan
huruf ل yang berharakat Fathah, mereka mengucapkannya dengan agak
terlalu tebal. Padahal di antara sifat- sifat yang ada padanya dan harus
diperhatikan adalah Sifat Bainiyyah (suara tidak tercegah dengan sempurna
dan tidak terlepas dengan sempurna) dan Sifat Idzlâq (keluarnya lancar/
ringan). Huruf ل berhatakat Fathah yang terdapat pada lafaz Jalâlah ( lafaz
 ) juga tidak tepat bila diucapkan oleh orang Bugis yang awam didalam
membaca Al-Qur’an. Sebab dialek mereka Lâm Jalâlah tersebut cenderung
dibaca Tarqîq (tipis), padahal seharusnya dibaca Taghlîz (tebal).
q. Huruf م dan ن hampir tidak ada masalah dalam pengucapannya. Hanya saja
ketika kedua huruf ini di- sukûn harus lebih dicermati pengucapannya, sebab
ada hubungan dengan bab hukum Nûn Mati atau Tanwîn dan hukum Mîm
Mati .
r. Huruf و dan ي, yang perlu dicermati adalah ketika dia mati/sukûn yang
terletak sesudah harakat Fathah. Sebab bagi sebagian masyarakat Indonesia
ada yang mengucapkannya dengan huruf “o atau e”. misalnya membaca lafaz
الْكَوثَر dan  كَيف dibaca “alkaotsar” dan “kaefa”. Padahal yang benar dibaca
“alkautsar” dan “kaifa”.
s. Huruf 􀑧 ھ, bagi masyarakat Indonesia boleh dikatakan sulit-sulit mudah.
Biasanya mereka menganggap sederhana pengucapan huruf ini; sebab ketika
mengucapkannya, makhraj mereka pada tenggorokan bagian tengah,
sehingga cenderung seperti bacaan “Tashîl Hamzah Baina-Baina”. Ini tentu
perlu dikoreksi, sebab makhraj huruf 􀑧 ھ yang benar adalah ditenggorokan
paling dalam.
Latihan Praktek
Pengucapan Huruf Hijâiyyah Sesuai Dengan
Makhraj & Sifat – Sifatnya
( التطْبِي  ق فى نطْقِ  حروف الْهِجائية حسب مخارِجِها وصفَاتها )
Dalam praktek pengucapan Huruf Hijâiyyah yang hidup maupun yang
mati sesuai makhraj & sifat-sifatnya, hendaknya peserta mengikuti dan
menirukan apa yang diucapkan narasumber, yaitu sebagaimana berikut:
Contoh-contoh
Huruf Hijâiyyah
dalam keadaan
hidup6 dan mati
كَانَ - إِلاَّ- هذَا- قَالَ – وخاب - صامتونَ -
ضاحكًا- رانَ
ا ا ا 7
بأْ  سنا - بثِّى- بدأْنا - بِبابِلَ - بِئْسما - مبِينا -
والْبِغالَ- بشرى - بيوتنا – بهتانا – تبتيلاً -
لجِبرِيلَ - ُأبسُِلوا
ب بِ  ب بب
تابا- تحت-تارةً - فَالتاليات-تلْ ُ كما- تجارةً –
تسعونَ- تبتم - تتوبا- يتو  ب - ترا  ب - أَترابا -
ت ت  ت بت
6 Huruf Hijâiyyah apabila berharakat Fathah harus diucapkan dengan membuka mulut;
apabila berharakat Kasrah harus diucapkan dengan sedikit menarik kedua bibir ke belakang; dan
apabila berharakat Dammah harus diucapkan dengan memajukan kedua bibir.
7 Huruf Alif sengaja tidak diberi harakat, sebab ia memang tidak pernah menerima
harakat. Masyarakat Islam Indonesia pada umumnya beranggapan bahwa Alif menerima harakat
اَ ا ُا ) ) , padahal tidak benar. Sedangkan yang benar, huruf Hamzah-lah yang dapat menerima
harakat, dan ketika menerima harakat menjadi: . ُأ - إِ - أَ
تتلَى- أَتتر ُ كونَ
ثال ُ ث ثَلاَثَة - وثَبت – ثَيبات - ثيابا- ثَلاَثين -
تثير- ُثوب - الثُُّلثَان - ُثلٌَّة - مثْواى - اثْنتينِ -
ليثْبِتوك
ثَ ث ُ ث بثْ
للْجبِين - جميلاً- جواب – جِمالَةً - جِئْتم -
الْجِبا ُ ل-  جنود-  جنبا- ولاَ  جناح - أَجرا - حجرا
- مجرِمين
ج جِ  ج بج
حبب - حراما - حسِب - حسابا - يحب -
يحلُّ-  ح  سوما-  حسنا-  حجتنا- تحتى- إِحسانا -
محسِنِين
ح حِ  ح بح
خبالاً- ختم - فى الْخيامِ - خيانةً - خفْتم -
للْ  خروجِ -  خبزا -  خسرا- تخر  ج - نخزى -
إِخراجا - إِخوانا - فَتخبِت
خ خِ  خ بخ
بدأَ - داخرِين - درجا  ت - دينا – مدينِين -
ديارِنا- دمتم - دولَةً – دخا ٌ ن - فى الدنيا - تدميرا
- إِدرِيس- مدخلاً
د د د بد
ذلك - ذَنوبا- ذَُلولاً - ذلٌَّة- وتذلُّ- ذى الْجلاَلِ-
ُذوالْجلاَلِ- بِ ُ ذنوبِنا- ُذكِّر- مذْموما - اذْهبا -
ذَ ذ ُذ بذْ
ويذْهب
رءُو  ف- رأَيت– ربنا– ورِءْيا - يرِي  د - رِيبةً -
 ر  جوما-  ردت-  ر  سلَنا - أَرباباً - أَمِ ارتابوا -
مردفين
ر رِ  ر بر
زبورا- زالَتا- زبدا - زيتونا- زِينةً - زِلْتم -
زِدنِى-  زخرفًا-  زلْزُِلوا –  زحزِح - وأَزلَفْنا -
أَزواجا - ُأزلفَت
ز زِ  ز بز
سبِيلاً-سأَُلوا-والسابِحات-ستين - سترا-سحران-
 سخرِيا-  سجرت-  سلَّما-يوسوِ  س-إِسرافًا- مسرِفين
س سِ  س بس
شتى- شديدا - شرا - بشيرا- شيبا- لَشرذمٌة -
 شورى-  شيوخا-  ش ُ كورا- أَشتاتا - اشمأَزت -
ُأشرِبوا
ش شِ  ش بش
صبا – صبروا – وصدوا – بِصحاف - مصيبٌة -
مصيرا-  صلْحا -  ص  حفًا - ت  صدونَ - تصطَُلونَ -
إِصلاَحا- تصبِ  حونَ
ص صِ  ص
بص
ضلاَلاً - ضربوا - ضبحا - ضدا - ضرارا
- يضلُّ - ضيزى -  ضحى - ي  ضرنا - بِ  ضر -
فَض ُ ل اللّه - الْ  مضعُفونَ
ض ضِ  ض
بض
بطَرا- وما بطَن- للْ  مطَفِّفين- يطير- باطلاً - طينا-
فى ب ُ طون- ي ُ طو  ف - ُ طولاً - فى بطْنِى - إِطْعام -
مطْمئنين
طَ ط ُ ط بطْ
ظَلَ  موا- ظَليلاً - ظَلَّت - ظلاَلاً- ظهرِيا- ظلُّها -
و ُ ظ  هو  ر  هم- ذى ُ ظُفر- ُ ظُلما  ت - تظْم  ؤا- أَظْلَ  م -
مظْلما
ظَ ظ ُ ظ بظْ
عاماً – وتعاونوا – مبع  دونَ - ومعينٍ - عي  ن -
بعدت – مبعوُثونَ -  عيونا-  عدوانا - بِأَعينِنا -
إِعراضا - معرِضين
ع عِ  ع بع
غَيرِالْمغ  ضوبِ-من الْغابِرِين-غلْما ٌ ن-من غسلين -
غلاَ ٌ ظ - تبتغوا-علاَّم الْغيوبِ- ُ غلاَما -فَأَغْنى -
استغفَا  ر- لَ  مغرمونَ
غَ غِ ُ غ بغْ
والْفَت  ح - فَتيلاً - فَرغْت - فجاجا- فئٌَة - فرارا -
ُفلاَنا- ُفصلَت- ُفرِجت - تفْجِيرا- يأَبت افْعلْ -
مفْترِين
ف ف  ف بف
قَتلْتم - تُقبلَ - قَد ُقدر - قتالاً - وبقيٌة -
قردةً- ُقرونا- ُقلْ- بِروحِ الُْق  دسِ- تقْتيلاً- أَقْبِلْ -
إِقْرأْ- مقْتح  م
ق قِ  ق بق
كَبِيرا-كَيدى -كَثيرا -كَذَّبوا –كتابا - كذَّابا -
كفَاتا- ُ كورت- فَ ُ كبت- ُ كفْرا - تكْسِبونَ –
ذكْرك-لاَإِكْراه -بكْرةً
ك ك  ك بك
لَبِثْت - لَبنا - لَعنتى- لواذًا - لسانا - لبا  س -
ُلوطًا- مُلوما - ُلغو  ب – يلْتفت – ولْيتلَطَّف - فى
الْ  ملْك - يلُْقونَ
لَ لِ ُ ل بلْ
متعنا - مرِيضا - وما يمسِك - مثُْل ُ كم – مائَتينِ -
بِملْكنا – متم - ي  مو  ج – بِ  مؤمنِين – مم  دودا -
من إِملاَقٍ- ممطرنا
م مِ م بم
نبأْت ُ كما – نباتا – نادمين - نِحلَةً - فَنِعم - نِفَاقًا
– نودى - نزلَ- نصبت - أَندادا – انت  هوا -
منزلين - ننجِي ُ كم
نَ ن ُ ن بن
وبِيلاً – وجبت – واحدا – وِزرا – وِلْدا ٌ ن - وِقْرا
–  وعد –  وكِّلَ –  وفِّيت – موئلاً - فَوقَ  هم -
موُقُفونَ - ولْيوُفوا
و وِ  و بو
هاتوا – هاديا - هشيما – مهِي  ن – مهِيلاً – ظَاهرةً
-  هودا-  هنالك – لَ  هدمت – ته  جرونَ - فَقَد
اهتدوا - مهت  دونَ
ه ه  ه
به
ءَادم- أَلي  م - أَجلاً - إِثْ  م – إِحدا  هما - إِفْكًا -
ُأوتى- ُأسارى - ُأسس- تأْ ُ كُلوا - جِئْنا- رِءْيا -
يؤمنونَ – نبئْ - وهيئْ
أَ إِ ُأ بأْ 8
يه  ب - يتيما- يونس- يسرا- بينِى- خيرا –
يوقنونَ
ي يِ  ي بي
8 Kepala ‘Ain Kecil ( ء ) yang selama ini kita anggap sebagai “ huruf Hamzah”, hakekatnya belum
dikenal ketika sejumlah Mushaf Utsmânî ( al-Masâhif al-‘Utsmâniyyah ) ditulis oleh Zaid bin Tsâbit cs pada
zaman Khalifah Utsmân bin ‘Affân. Dengan demikian simbol tersebut bukan sebagai Rasm Utsmâni, akan
tetapi sebagai “ tanda baca huruf Hamzah”. Pertanyaannya, bagaimana Zaid bin Tsâbit dahulu menulis huruf
Hamzah? Jawabannya : “ kadang ia ditulis olehnya dengan bentuk Alif (“ ا “ - setelah diberi tanda baca “ “ء
menjadi “ أ “ ) , kadang ditulis olehnya dengan bentuk Yâ’ (“ ى “ - setelah diberi tanda baca “ ء “ menjadi
ئ“ “ ) , kadang ditulis olehnya dengan bentuk Wâw (“ و “ - setelah diberi tanda baca “ ء “ menjadi “ ؤ “ ), dan
kadang ditulis dengan dengan tanpa bentuk – misalnya حا - setelah diberi tanda baca ( ء ) dan tititk
menjadi جاء . Perbedaan penulisan antara Hamzah Qata‘ dan Hamzah Wasal pada Mushaf al-Madînah an-
Nabawiyyah dan Mushaf lainnya terbitan Timur Tengah dengan Mushaf terbitan Indonesia dewasa ini
adalah sebagai berikut: “ Penulisan Hamzah Qata‘ pada Mushaf al-Madînah an-Nabawiyyah dan Mushaf
terbitan Timur Tengah lainnya tercetak dengan ada tanda baca Kepala ‘Ain Kecil di atas/ di bawah Alif, yakni
tertulis أ إ أ , sedangkan Mushaf terbitan Indonesia tercetak dengan ada harakat Fathah/ Kasrah/
Dammah diatas Alif, yakni tertulis .ا ا ا
Adapun penulisan Hamzah Wasal pada Mushaf al-Madînah an-Nabawiyyah dan Mushaf terbitan Timur
Tengah lainnya tercetak dengan ada tanda baca Kepala Huruf Sâd Kecil Berekor, yakni tertulis (  ), misalnya
pada lafaz  -  dan  ; yang dengan demikian bagi pembaca Al-Qur’an yang tidak menguasai
Ilmu Tatabahasa Arab akan mengalami kesulitan memberi harakat ketika pembaca memulai bacaan (Ibtida’)
dari lafaz yang awalnya berupa Hamzah Wasal, apakah memakai harakat Kasrah atau Dammah (ket. Cara
untuk mengetahui harakat Hamzah Wasal Mushaf terbitan Timur Tengah, harus bertanya / barguru pada
ahli Al-Qur’an). Sedangkan Mushaf terbitan Indonesia tercetak dengan ada harakat Fathah / Kasrah /
Dammah, yakni tertulis ا ا ا , misalnya ا هدنا- اَلْحم  د dan ُان ُ ظروا walaupun kadang-kadang tidak ada tanda
harakat tersebut atau tanda lainnya- ketika ia terletak sesudah tanda Waqaf لا atau صلى ; yang dengan
demikian, untuk Mushaf terbitan Indonesia ini pembaca Al-Qur’an mengalami kesulitan didalam
membedakan dan mengetahui antara Hamzah Qata‘ dan Hamzah Wasal - kecuali bila pembaca menguasai
Ilmu Tatabahasa Arab”.
IV. IDBILÂBIKH FÂSYAMÎGHUN9
Agar dapat membaca Al-Qur’an dengan tartîl yang optimal, maka
pembacanya harus menguasai secara teori maupun praktek pada 6 hukum yang
mempunyai bacaan tempo dengung (ghunnah) 2 harakat berikut, yaitu Idghâm
bi Ghunnah – Iqlâb- Ikhfâ’ – Ikhfâ’ Syafawiy – Idghâm Mîmiy – dan Ghunnah
(disingkat Idbilâbikh Fâsyamîghun).
A. Idghâm bi Ghunnah (  ( اَلإِدغَام بِغنة
Idghâm bi Ghunnah ialah: Apabila ada Nûn Mati ( 10 ( نْ atau Tanwîn
( / / ) 11bertemu dengan salah satu huruf yang terkumpul dalam lafaz  ين  مو
(yakni م/ ن / ي / atau و - dan terletak dalam dua kata. Praktek bacaannya harus
disertai tempo dengung/ghunnah 2 harakat.
Ketika Nûn Mati ( نْ ) atau Tanwîn ( / / ) bertemu ي/ و disebut
Idghâm Nâqis bi Ghunnah الإِدغَام الناق  ص بِغنة ) 12 ). Ketika terdapat Nun Mati
9 Untuk hukum-hukum semacam Izhâr Halqiy, Idghâm bilâ Ghunnah, Izhâr Syafâwiy, الْ untuk
Syamsyiyyah, الْ untuk Qamariyyah, dan lainnya sengaja tidak dibahas dalam buku Petunjuk Praktis Tahsîn
Tartîl Al-Qur’an ini, sebab bagi seseorang yang pernah belajar Ilmu Tajwid hampir tidak ada kesulitan
didalam menguasai hukum-hukum tersebut baik secara teori maupun praktek.
10 Nûn Mati ( نْ ) yang mempunyai hukum Idghâm bi Ghunnah di dalam Mushaf al-Madînah an-
Nabawiyyah dan Mus haf lainnya terbitan Timur Tengah- tertulis dengan tanpa ada tanda sukûn, misalnya:
من يُقو ُ ل . Sedangkan Mushaf standar Indonesia di atas Nûn Mati ada tanda sukûn ( .( نْ
11 Perbedaan Nûn Mati ( نْ ) dan Tanwin ( / / ) Nûn Mati adalah konsonan “n” yang mempunyai
bentuk rasm (tertulis) dan dapat terletak di tengah kata atau di akhir kata; sedangkan tanwin adalah
konsonan “n” yang tidak mempunyai bentuk rasm (tidak tertulis) dan, hanya berada di akhir kata.
12 Ketika suatu lafaz mempunyai hukum Idghâm Nâqis bi Ghunnah , Yâ’ atau Wâw yang terletak
sesudah Nûn Mati/ Tanwîn, dalam Mushaf al-Madînah an-Nabawiyyah dan Mushaf lainnya terbitan Timur
Tengah- tercetak dengan tanpa ada tanda Tasydîd di atasnya, misal: al Baqarah من ولي ولاَ : 107 , من يُقو ُ ل : 8
نصيرٍ , dan az Zilzâl خيراً يره : 7 . Sedangkan Mushaf terbitan Indonesia tercetak dengan ada tanda Tasydîd di
atasnya. Kelemahan tanda baca Mushaf terbitan Indonesia adalah pembaca Al-Qur’an mengira bahwa
bacaannya seperti Yâ’ atau Wâw yang bertasydîd dengan tanpa disertai dengung/ghunnah (ket.: hal
demikian tentu tidak benar adanya).
نْ ) ) atau Tanwin ( / / ) bertemu م / ن disebut Idghâm Kâmil bi
Ghunnah اَلإِدغَام الْكَام ُ ل بِغنة ) 13 ). Contoh:
Huruf
Idghâm bi
Ghunnah
Nûn Mati
( نْ )
Tanwîn
( / / )
Keterangan
ي
و
فَمن يعمل
من ولَد
خيرا يره
غشاوة ولَ  هم
Bunyi Nûn Mati atau Tanwîn
dilebur menjadi Yâ’ atau
Wâw sesudahnya dengan
tidak sempurna, dan disertai
dengung / ghunnah yang
bertempo 2 harakat  (الإِدغَام
الناقص بِغنة)
ن
م
من نعمة
من مارِجٍ
يومئذ ناعمة
فى كتب مبِينٍ
Bunyi Nûn Mati atau Tanwîn
dilebur menjadi Nûn atau
Mîm sesudahnya dengan
sempurna (yakni seperti
Nûn atau Mîm di-Tasydîd)
dan disertai dengung /
ghunnah yang bertempo 2
harakat (  (الإْدغام الْكَام ُ ل بِغنة
13 Ketika suatu lafaz mempunyai hukum Idghâm Kâmil bi Ghunnah, Nûn atau Mîm yang terletak
sesudah Nûn Mati/ Tanwîn, dalam Mushaf al-Madînah an-Nabawiyyah dan Mushaf lainnya terbitan Timur
Tengah -tercetak dengan ada tanda Tasydîd di atasnya, misalnya pada surah ar-Rahmân ayat من مارِجٍ من : 15
نارٍ , sebagaimana juga pada Mushaf terbitan Indonesia (ket.: Dengan demikian Mushaf terbitan Indonesia,
baik Idghâm Nâqis bi Ghunnah maupun Idghâm Kâmil bi Ghunnah tercetak dengan ada tanda Tasydîd di
atas Yâ’ / Wâw maupun Nûn / Mîm).
Catatan 1. Oleh karena terletak dalam satu kata, maka Nûn Mati ( ( نْ
pada lafaz الدنياََ – بنياَ ٌ ن -قنوا ٌ ن - ص نوا ٌ ن tidak di- Idghâmkan ke
dalam Yâ’ / Wâw, akan tetapi dibaca Izhâr .
2. Untuk bacaan Riwâyat Hafs, Nûn Mati ( نْ ) pada " ن" surat al
Qalam ayat 1 ketika di-Wasalkan dengan " والْقَلَمِ " , atau pada
يس" " surat Yâsîn ayat 1 ketika di-Wasalkan dengan " " والُْقرآن
– tidak di-Idghâmkan ke dalam Wâw, akan tetapi dibaca Izhâr.
3. Cara membaca Nûn Mati atau Tanwîn ( / / ) ketika
bertemu dengan Yâ’/ Wâw, bukan seperti Yâ’/ Wâw ber-
Tasydîd yang disertai tempo 2 harakat; akan tetapi disertai
tempo dengung (ghunnah) 2 harakat.
Latihan Praktek Idghâm bi Ghunnah
( التطْبِي  ق فى اْلإِدغَامِ بِغنة )
من يلْزِمك - أَنْ يخُلق - لَن يقْدر - وإِنْ يروا - إِنْ يشأْ - وبرق
يجعُلونَ -  و  جوه يومئذ- جنة يأْ ُ ك ُ ل- لقَوم يؤمنونَ - يومئذ يتذَكَّر-
يومايجع ُ ل- من واقٍ- من والٍ - من ولي ولاَ نصيرٍ- خيروأَبقَى- فى
تضليل وأَرسلَ - يومئذ واهية - أَبِى لَهب وتب - ذَات لَهب وامرأَته-ول ُ كلّ
وجهٌة- ولسانا وشفَتينِ -  هدى ورحمةً - من مآء مهِينٍ- من مسد- من
مالٍ- نار مؤصدٌة - حبل من - خير من أَلْف شهرٍ- عذَاب مقي  م - بِحجارة
من - كَعصف مأْ ُ كولٍ -  سلْطَانا مبِينا-  ص  حفا مطَهرةً - ُلؤُلؤا منُثورا -
صراطا مستقيما - ولي ُ كونا من الصاغرِين - لَن ند  خلَها - إِنْ نع  ف - من
نذيرٍ- من نطْفَة - من نورٍ- حطَّة نغفر لَ ُ كم - شيء ن ُ كرٍ- وكَأَي من نبِي -
أَمشاج نبتليه – شيأ نكْرا
B. Iqlâb ( ( الإقْلاَ  ب
Iqlâb ialah: apabila Nûn Mati ( 14 ( نْ atau Tanwîn ( / / ) bertemu
dengan huruf ب , bunyinya menjadi Mîm Mati (  م )- dengan catatan memelihara
Ikhfâ’-nya  م ke dalam ب dengan disertai tempo dengung / ghunnah 2 harakat.
Contoh :
Huruf
Iqlâb
Nûn Mati
( نْ )
Tanwîn
( / / ) Keterangan
أَنْ بُوِرك ب
تنب  ت
سميع بصير
مشآء بنميمِ
Bunyi Nûn Mati atau Tanwîn
diganti Mîm Mati dimana di
dalam praktek bacaannya
bunyi Mîm Mati tersebut
disamarkan menuju makhrajnya
huruf " ب" dan disertai
dengung / ghunnah yang
bertempo 2 harakat dengan
tanpa Khaisyum. Maka dari
itu agar mudah mempraktekkan
bacaan Iqlâb
secara tepat adalah kedua
bibir tidak dikatupkan secara
kuat / rapat, tetapi ringan -
ringan saja, sehingga bunyi
14 Nûn Mati ( نْ ) yang mempunyai hukum Iqlâb di dalam Mushaf al-Madînah an-Nabawiyyah dan
Mushaf lainnya terbitan Timur Tengah -tertulis dengan tanpa ada tanda Sukûn, namun di atasnya ada tanda
Mim Kecil ( م ) misalnya:  . Sedangkan Mushaf Standar Indonesia, semua Nûn Mati pasti ada tanda
Sukûn di atasnya; dan untuk hukum Iqlâb antara Tanwîn dan ب atau Nûn Mati dan ب ada tanda Mîm Kecil
.( م )
Mim Mati akan terfokus
disekeliling kedua bibir.
Latihan Praktek Iqlâb
( التطْبِي  ق فى اْلإِقْلاَبِ )
من بعلها –  سنبلَة – فَمن بدلَه – لَئن بسطْت – فَانبجست – عن بينة-
ولَكن بعدت – فَانبذْ – أَنبأَ  هم – وأَنبتها – كَمن بآءَ – من بينِنا – أَنبُئونِى
– اْلأَنبياَءِ – من بقْلها – كَرِه الله انبعثَ  هم - عوان بين – بصيربماَ – ءَايت
بينا  ت –  صم بكْ  م – ر  سول بماَ – متاع بالْمعروف – مصدقا بكَلمة –
غَما بغم – بغيا بين  هم – جزآء بماَ –  سوآء بجهالَة – سميعا بصيرا –
قَآئما باْلقسط – سوآء بينا – جنة بربوة – أَوإِصلاَح بين – بِعذَاب بئيسٍ –
وبنات بغيرِ علْمٍ – مسخرات بأَمرِه – فَبِأَي حديث بعده – عليم بذَات
الص  دورِ – مشآء بنميمٍ.
C. Ikhfâ’ ( (الإخفآء
Ikhfâ’ ialah : Pengucapan huruf antara Izhar dan Idhgâm dengan tetap menjaga
ghunnah / dengung; yakni ketika ada Nûn mati ( 15 ( نْ atau Tanwîn ( / / )
bertemu dengan salah satu huruf yang 15 berikut :
ت – ث – د – ذ – س – ش – ص – ض – ط- ظ – ف – ق - ج
– ز – ك
15 Nun Mati ( نْ ) yang mempunyai hukum Ikhfa’ di dalam Mushaf al-Madinah an-
Nabawiyyah dan Mushaf lainnya terbitan Timur Tengah – tertulis dengan tanpa ada tanda sukûn,
misalnya: .من تحتها
Praktek bacaannya, bunyi Nun mati ( نْ ) atau Tanwîn ( / / ) disamarkan /
disembunyikan menuju makhraj huruf Ikhfâ’ sesudahnya dengan disertai tempo
dengung /ghunnah 2 harakat. Contoh:
Huruf
Ikhfâ’
Nûn mati ( نْ ) Tanwîn
Dalam ( / / ) Keterangan
Satu Kata
Dalam
Dua Kata
ت
د
ط
ُ كنتم
أَندادا
ينطُقونَ
من تحتها
من دآبة
من طينٍ
زرعا تأْ ُ ك ُ ل
قنوان دانِية
صعيدا طيبا
Disebut Ikhfâ’
Aqrab, sebab letak
makhraj Nûn Mati
atau Tanwîn
dengan huruf
Ikhfâ’nya sangat
dekat.
ث
ذ
س
ش
ص
ض
ظ
ف
ج
ز
منثورا
لتنذر
فَلاَ تنسى
منشورا
منصورا
منضود
فَانظر
ينفُقونَ
أَنجين ُ كم
أَنزلْناه
من ثمرة
من ذكَرٍ
من سلَلَة
فَمن شآءَ
من صيامٍ
من ضرٍّ
من ظلَم
وإِنْ فاَت ُ كم
إِنْ جاءَ ُ كم
فَإِنْ زلَلْتم
أَزواجا ثلاَثَة
سراعا ذلك
ور  جلا سلَما
قَوِي شدي  د
بِريح صرصرٍ
و ُ كلاّ ضربنا
ظلاّ ظليلاً
أَزواجا فسبح
قَوما جبرِين
يومئذ ز  رقًا
Disebut Ikhfâ’
Ausat, sebab
letak makhraj
Nûn Mati atau
Tanwîn dengan
huruf Ikhfâ’nya
sedang-sedang
saja.
ق
ك
ينقلبونَ
أَنكالاً
من قبلك
ومن كفَر
عُفوا قديرا
ورِزق كرِي  م
Disebut Ikhfâ’
Ab‘ad, sebab letak
makhraj Nûn
Mati atau Tanwîn
dengan huruf
Ikhfâ’nya
berjauhan.
Perhatian
1. Dengan demikian, tidak benar adanya bila bacaan Ikhfâ’
diucapkan dengan bunyi “ ng “.
2. Jika Nûn Mati ( نْ ) atau Tanwîn ( / / ) bertemu salah satu
huruf Ikhfâ’ yang lima berikut, yaitu: ص- ض- ط- ظ- ق maka
ghunnah/ dengungnya adalah dengan Tafkhîm16, misal :
من صلْصالٍ- من ضعف – ينطُقونَ – ينظرونَ - من قبل ُ كم
3. Jika Nûn Mati ( نْ ) atau Tanwîn ( / / ) bertemu selain huruf
Ikhfâ’ yang lima tersebut, maka bacaan ghunnah/dengungnya
adalah dengan Tarqîq; misalnya:
ُ كنتم – اَنفقْتم – اَندادا – ُانزلَ – قَوما جبرِين
Latihan Praktek Ikhfâ’
( التطْبِي  ق فى اْلإِخفَاءِ )
أَنْ ت ُ كونَ- وإِنْ تب  دوه - ُ كنتم - ُذوانتقَامٍ - لَن تغنِى- فَانتهى - أنْ تضلَّ -
وإِنْ تولَّوا – تداينتم - يوما ترجعونَ - فئَة تقَات ُ ل - جنات تجرِى - وأَعناب
تجرِى-حاضرة تديرونها– شجرة تخر  ج - من سوء تود - وفَريقا تقْتُلونَ -
16 Agar tepat praktek bacaan Ikhfâ’ yang ghunnahnya dengan Tafkhîm, hendaknya dimusyafahahkan
kepada guru ahli Al- Qur'an.
وصية تو  صونَ - كَالأُنثى- من ثمرِه - فَمن ثُقلَت - بِجهالَة ثم -
جميعا ثم - من ثُلثَي - سئحت ثيبت - مسمى ثم - ماء ثجاجا-
عند  هم - عن دراستهِم - من دونِه - من عندك - من ديارِهم - عن دينِه
- ومن دخلَه - من جند- يومئذ دبره - ءَأَنذرت  هم - من ذاالَّذى- منذرِين
- أنْ أَنذر - من ذلك - لَم تنذر  هم - من ذرية - كَاملَة ذلك - لَعبا
ذلك - بابا ذا عذَابٍ - وطَعاما ذا ُ غصة - ُ كلُّ نفْس ذآئقَُة الْموت -
عزِيزذوانتقَامٍ - من سن  دسٍ - عن سبِيله – ننسخ – ننسها - من سفه -
عن سوآءٍ - فَإِذَا انسلَخ - أَنْ سخطَ - واْلإِنس - باطلا سبحنك -
كَلمة سوآءٍ - قَولاسديدا - ولَدا سبحنه- أَنشأَ ُ كم - من شيءٍ -
فَمن شهِد - من شعآئرِ اللهِ - فَإِنْ شهِ  دوا- عن نفْس شيأً - عذَابا شديدا
- علَى ُ كلِّ شيء شهِيدا - عذَاب شدي  د - ومن صلَح - أَنصارِى- عن
صلاَتهِم - من صلْصالٍ - ينصر ُ كم - وانصرنا - واْلأَنصا  ب - من صد
عنه - من صياصيهِم - مائَة صابِرٌة - رِيحا صرصرا - بِرِيح صرصرٍ -
عذَابا صعدا – نفَقَة صغيرةً - بقَرة صفْرآءُ - ونخيل صنوا ٌ ن - لَمن
ضره - من ضر - عن ضلاَ لَتهِم - عن ضيفه - من ضلَّ - من ضرِيعٍ-
من ضعف - إِنْ ضلَلْ  ت- و ُ كلاّ ضربنا - عذَابا ضعفًا - مكَانا ضيقًا -
معيشة ضنكًا - قسمة ضيزى - ل ُ كلّ ضع  ف - ُذرية ضعافًا - عن طبقٍ
- من طينٍ - إِنْ طردت  هم - وإِنْ طلَّقْت  مو  هن - بِقنطارٍ - فَانطلَقَا - من
طغى- من طلْعها- لَحماطرِيا- قَوماطاغين - قَوم طا ُ غونَ- فدية طعام
مسكينٍ - أَوكَفَّارة طعام مساكين- صعيدا طيبا - سبع سموات طباقًا -
ونخل طلْعها - وانظر- من ظلَم - من ظلم - من ظُلمات الْبر - إِنْ ظنا -
من ظ  هورِها - من ظهِيرٍ - سحاب ظُلما  ت - ظلاّ ظليلاً - إِلاَّ مرآء ظاهرا
- ُقرى ظاهرةً- ل ُ كلِّ نفْس ظلَمت -حرثَ قَوم ظلَ  موا - لبعض ظهِيرا -
أَنفس  هم- فَانفجرت- ومن فوقهِم- من فضل ف ُ ذوُقوا - مرض فزاد  هم -
جاعل فى اْلأَرضِ-  عمي ف  هم - اَمواتا فأَحيا ُ كم - بعوضة فمافَوقَها- جهرة
فأَخذَت ُ كم - صالحا فلَ  هم - نفْسا فادارءْتم - بسطَة فاذْ ُ كروا - كَلمات
فتاب - واحد فاد  ع - بِكتب فصلْنه- ميت فأَنزلْنا- أَنْ قد وجدنا - من
قريت ُ كم - فَانقلَبوا - ولَكن قست - ومن قتلَ- عن قبلَتهِم - نصيب قاُلوا
- ومستودع قد فَصلْنا - مصيبة قالَ- ُأمة قد خلَت - جميعا قالَت - حقّا
قاُلوا - عُفوا قديرا - دينا قيما - بغتة قاُلوا - ثَمنا قليلاً-عرضا قرِيبا -
سفَرا قاصدا - إِلَى بعض قاُلوا - شيء قديراً - من فئَة قليلَة - إِلَى أَجل
قرِيبٍ - ُقلْ بِتابِع قبلَت  هم - فَأَنجينكَُم - من جآءَك - أَنْ جآءَه - ومن
جهر بِه - واْلإِنجيل - وإِنْ جن  حوا - من جند - من جنة - فَصبر جمي ُ ل
- ءَاية جنتان -  رطَبا جنِيا - ظَُلوما ج  هولاً - كَثيرا جزآءً - سراحا جميلاً -
 حباّ جما - من موص جنفًا - ول ُ كلّ جعلْنا - ل ُ كلِّ ُأمة جعلْنا - ُأنزلَت -
منزلين - فَمن زحزِح - فَإِنْ زلَلْتم - من زكَّاها- ولَئن زالَتا - من زوالٍ -
وطَرا زوجناكَها - من كلِّ فَاكهة زوجان - من كلّ زوجينِ - ُ غلاَما زكيا
- نفْسا زكيِةً - صعيدا زلَقًا - أَو متاع زب  د مثُْله - إِلَى بعض زخرف الْقَولِ
- يومئذ ز  رقًا - مباركَة زيتونة - منكم - عنكم - من كانَ- إِنْ كنتم -
ممن كتم - ولكن كانوا - من لَ  دنك تنكيلاً - عنِ الْ  منكرِ - ولاَ يحزنك
- منك - فَإِنْ كذَّبوك - ولكن كرِه-كَاذب كفَّار - لَيُئوس كُفور- لَظَُلوم
كفَّار- أَذى كثيرا - نارا كلَّما - ُثبورا كثيرا - إِختلاَفا كثيرا - خيرا كثيرا
- قَوما كفَروا - عادا كفَروا - ُ كلَّ خوان كُفورٍ - ُ كلُّ ختار كُفورٍ
D. Ikhfâ’ Syafawiy (  ( الإِْخفَاءُ الشفَوِي
Ikhfâ’ Syafawiy ialah: apabila terdapat Mîm Mati ( 17 (م bertemu dengan
huruf Bâ’( ب ). Praktek bacaannya disertai tempo dengung/ghunnah 2 harakat.
Contoh:
Huruf
Ikhfâ’ Syafawiy Mîm Mati (  ( م Keterangan
وما  هم بِ  مؤمنِين ب Bunyi Mîm Mati (  م ) di-Ikhfâ’kan ke
dalam Bâ’ ( ب ) sesudahnya dengan
disertai dengung/ghunnah yang
bertempo 2 harakat.
Catatan Cara membaca Ikhfâ’ Syafawiy, hendaknya kedua bibir tidak
dikatupkan secara kuat, tetapi ringan-ringan saja -
sebagaimana bacaan Iqlâb.
17 Mîm Mati (  م ) yang mempunyai hukum Ikhfâ’ Syafawiy di dalam Mushaf al-Madînah an-
Nabawiyyah dan Mus haf lainnya terbitan Timur Tengah- tertulis dengan tanpa ada tanda sukûn, misalnya:
وما  هم بِ  مؤمنِين . Sedangkan Mushaf Standar Indonesia ada tanda sukûn di atasnya.
Latihan Praktek Ikhfâ’ Syafawiy
( التطْبِي  ق فى الإِخفَاءِ ال  شفَوِى )
فَاحْ ُ كم بين  هم بالْقسط - ترميهِم بحجارة - ُ كنتم به - فَبشر  هم بعذَابٍ
- إِلَيهِم بالْمودة - أَنُفس ُ كم باتخاذ ُ كم - علَيهِم بصحاف - و  هم بارِ  زونَ
- إِلَيهِم بِهدية - بين ُ كم بِمعروف - ويمدد ُ كم بأَموالٍ - وُأنبُئ ُ كم بِماتأْ ُ كُلونَ
- ءَاتين ُ كم بُقوة - فَإِذَا  هم بالساهرة - رب  هم بذَنبِهِم - أَنذَر  هم بطْشتنا -
أَحلاَم  هم بِهذَا - علَيهِم بكَاْسٍ .
E. Idghâm Mîmiy (  ( الإِْدغَام الْميمي
Idghâm Mîmiy ialah: apabila terdapat Mîm Mati (  18 ( م bertemu
dengan huruf Mîm ( م ). Praktek bacaannya disertai tempo
dengung/ghunnah 2 harakat. Contoh :
Huruf
Idghâm Mîmiy Mîm Mati (  ( م Keterangan
ما  هم من ُ كم م
ومن  هم من كَفَر
Mîm Mati di-Idghamkan ke dalam Mîm
م ) ) sesudahnya, disertai dengung /
ghunnah yang bertempo 2 harakat.
18 Mîm Mati (  م ) yang mempunyai hukum Idghâm Mîmiy di dalam Mushaf al-Madînah an-
Nabawiyyah dan Mus haf lainnya terbitan Timur Tengah- tertulis dengan tanpa ada tanda sukûn – dan di
atas huruf Mîm yang kedua ada tanda baca Tasydîd, misalnya:  فى ُقُلوبِهِم مرض . Sedangkan Mushaf terbitan
Indonesia- Mîm Mati (  م ) ada tanda sukûn dan di atas huruf Mîm yang kedua ada tanda baca Tasydîd.
Latihan Praktek Idghâm Mîmiy
( التطْبِي  ق فى الإِدغَامِ الْميمى )
فى ُقُلوبِهِم مر  ض - إِنْ ُ كنتم مؤمنِين - كَم من فئَة - لَ  هم مما كَتبت-
أَنفَقْتم من خيرٍ- أَن ُ كم ملُقوه - بع  ض ُ كم من بعضٍ - فَار  زُقو  هم منه -
يع  د ُ كم مغفرٌة - أَصبتم مثْلَيها - بِأَفْواههِم مثْلَيها - علَيهِم مدرارا - قَد
استكْبرتم من اْلإِنسِ - و  هم مهت  دونَ - إِلَيهِم من ربهِم - من ُ كم متعمدا -
وتركْتم ماخولْن ُ كم - من حسابِهِم من شيءٍ - علَيهِم ماكَانوا - أَنشأَ ُ كم من
نفْسٍ - ملَكْتم مفَاتحه - ما  هم من ُ كم - فيهِم منذرِين.
F. Ghunnah ( ( الْغنُة
Ghunnah ialah apabila terdapat huruf Nûn di-Tasydîd ( نّ ) atau Mîm di-
Tasydîd ( م ) adalah disebut Ghunnah ( الْغنُة ); oleh karenanya ia harus dibaca
dengan ghunnah (dengung) yang sempurna dengan tempo 2 harakat.
Contoh:
Mîm Tasydîd ( م) Nûn Tasydîd ( ّ ن) Keterangan
C o n t o h
ممانزلْنا
ولَما
ومن الناسِ
إنه
Tempo ghunnah / dengung 2
harakat, diberlakukan baik Nûn
Tasydîd ( نّ ) atau Mîm Tasydîd (م) di
tengah kata se-perti الْجنة ; atau di
akhir kata seperti  بالْمن – فى الْيم
ketika di Waqafkan.
Latihan Praktek Ghunnah
( التطْبِي  ق فى الْغنُة )
ءَامنا - يأْتين ُ كم - وأَن  هم - إِن ُ كم - والنصارى - ولَنبُلون ُ كم - جهنم -
ي ُ ظنونَ- ولاَت  موتن إِلاَّ- والنبِين - والنهارِ– والنطيحُة – ولَيزِيدنّ كَثيرا -
فَتمن  وا الْموت - ولَتجِدن  هم - فَأَتم  هن - متعمدا - ُأمهات ُ كم - فَنِعما هى -
مسمى- سميتها - أَنْ يعمر- من بعد الْغم - فَتيم  موا - فَلأُمه - مما ترك
- أَهمت  هم - وليتم نِعمته
V. MACAM-MACAM MAD
( الْم  د وأَقْسامه )
Arti Mad ( 19 ( الْم  د ialah memanjangkan suara ketika membaca Huruf Mad
atau Huruf Lein. Dengan demikian apabila terdapat Huruf Mad atau Huruf Lein
pasti ada bacaan Mad; dan apabila tidak ada Huruf Mad atau Huruf Lein tentu
juga tidak ada bacaan Mad. Sebaliknya apabila ada bacaan Mad pasti ada Huruf
Mad atau Huruf Lein ; dan bila tidak ada bacaan Mad pasti juga tidak terdapat
Huruf Mad atau Huruf Lein.
Adapun Huruf Mad ada tiga (3) , yaitu:
1. Alif20 (baik ada rasm atau tidak ) – di mana sebelumnya berupa huruf yang
berharakat Fathah. Sebagai contoh Huruf Mad Alif yang ada rasm adalah
19 Perbedaan Huruf Mad dan Mad, yaitu: Huruf Mad adalah penyebab adanya bacaan Mad
(panjang ) ; sedangkan Mad adalah bacaan panjang akibat adanya Huruf Mad . Dengan demikian
perbedaan prinsipil keduanya ialah : Huruf Mad adalah penyebab sedang Mad adalah akibat.
20 Huruf Mad “ Alif “ yang tidak ada rasm, pada Mushaf al-Madînah an Nabawiyyah dan
Mushaf lainnya terbitan Timur Tengah, tercetak dengan ada tanda “ Alif kecil “ yang terletak di
samping kiri harakat Fathah- contoh :  ; kecuali lafaz  - artinya di samping kiri harakat
Fathah Lâm Jalâlah tidak dibubuhkan tanda “ Alif kecil “, akan tetapi hanya ada tanda baca Fathah
biasa/miring (tidak berdiri). Hal demikian menurut ulama pakar tanda baca Al-Qur’an- agar ada
perbedaan antara penulisan lafaz  dan  -nama berhala pada surah an Najm ayat 19 (lihat
kitab Syarh Dalîlul Hairân fî Rasmin wa Dabtil Qur’an h.407) . Sedangkan sebagian Mushaf,
misalnya terbitan Menara Kudus- India- Pakistan, Huruf Mad “Alif” yang tidak ada rasm tercetak
dengan tanda “ Fathah berdiri / Fathah qâimah ” diatas huruf sebagaimana dimaklumi, misalnya
Fathah berdiri / Fathah qâimah yang terdapat pada lafaz الرحمن atau . لله
Adapun Huruf Mad “ Alif “ yang ada rasm kadang-kadang tertulis dengan bentuk Alif,
misalnya: قَالَ ; kadang tertulis dengan bentuk Wâw (ket. pada Mushaf al-Madînah an Nabawiyyah
dan Mushaf lainnya terbitan Timur Tengah tercetak dengan ada tanda “ Alif kecil “ di atas Wâwseperti
Alif yang terdapat pada lafaz " قَالَ " ; dan sebagai contoh Huruf Mad
Alif yang tidak ada rasm adalah seperti Alif yang terdapat pada lafaz "
2. Wâw mati (baik ada rasm atau tidak)21 – di mana sebelumnya berupa huruf
yang berharakat Dammah. Sebagai contoh Huruf Mad Waw yang ada rasm
adalah seperti Wâw yang terdapat pada lafaz " يُقو ُ ل " ; dan sebagai contoh
Huruf Mad Waw yang tidak ada rasm adalah seperti Wâw yang terdapat pada
Hâ’ Damîr lafaz " . " لَه ما
3. Yâ’ mati (baik ada rasm atau tidak)22- di mana sebelumnya berupa huruf yang
berharakat Kasrah. Sebagai contoh Huruf Mad Yâ’ yang ada rasm adalah
misalnya:  , sedangkan sebagian Mushaf misalnya terbitan Menara Kudus- India- Pakistan
tercetak dengan tidak ada tanda baca di atas Wâw- namun huruf sebelumnya diberi tanda “
Fathah berdiri/ Fathah qâimah ”, misalnya الصلوة ; dan kadang tertulis dengan bentuk Yâ’ (ket.
pada Mushaf al-Madînah an Nabawiyyah dan Mushaf lainnya terbitan Timur Tengah tercetak
dengan ada tanda “ Alif kecil “ di atas Yâ’ - misalnya:  , sedangkan sebagian Mushaf
misalnya terbitan Menara Kudus- India- Pakistan tercetak dengan tidak ada tanda baca di atas
Yâ’- namun huruf sebelumnya diberi tanda “ Fathah berdiri/ Fathah qâimah ”, misalnya . والضحى
21 Huruf Mad “ Wâw “ yang ada rasm, pada Mushaf al-Madînah an-Nabawiyyah dan
Mushaf lainnya terbitan Timur Tengah, tercetak tanpa ada tanda sukûn ( ) di atasnya- misal :
 ; sedang yang tidak ada Rasm tercetak dengan tanda “ Wâw kecil “ yang terletak sebelah
kiri huruf yang berharakat Dammah- contoh :  . Namun sebagian Mushaf, misalnya terbitan
Menara Kudus- India- Pakistan, Huruf Mad “Wâw” yang tidak ada rasm ini tercetak dengan tanda
“ Dammah terbalik” sebagaimana dimaklumi.
22 Huruf Mad “ Yâ’ “yang ada rasm, pada Mushaf al-Madînah an-Nabawiyyah dan
Mushaf lainnya terbitan Timur Tengah, tercetak tanpa ada tanda sukûn ( ) di atasnya- misal :
 ; sedang yang tidak ada rasm, tercetak dengan tanda “ Kepala Yâ’ kecil “ yang terletak
sebelah kiri huruf yang berharakat Kasrah- contoh : . Namun sebagian Mushaf, misalnya
seperti Ya' yang terdapat pada lafaz " قيلَ " ; dan sebagai contoh Huruf Mad
Yâ’ yang tidak ada rasm adalah seperti Yâ’ yang terdapat pada Hâ’ Damîr
lafaz " " بِه علْ  م
Sedang Huruf Lein ada 2 (dua ), yaitu :
1. Wâw mati - di mana sebelumnya berupa huruf yang berharakat Fathah.
Contoh Huruf Lein Wâw adalah Wâw yang terdapat pada lafaz " . " يومئذ
2. Yâ’ mati (baik ada rasm atau tidak)- di mana sebelumnya berupa huruf yang
berharakat Fathah. Sebagai contoh Huruf Lein Yâ’ yang ada rasm adalah
seperti Yâ’ yang terdapat pada lafaz " كَيف " ; dan sebagai contoh Huruf
Lein Yâ’ yang tidak ada rasm adalah terdapat pada ع (‘Ain )-nya " "
( awal surat Maryam ) dan  -  ( awal surat asy Syûrâ ayat 2).
Secara garis besar hukum Mad dibagi menjadi : Mad Tabî‘iy/ Mad Aslî
الْمد الطَّبِيعي /الْمد اْلأَصلى ) ) dan Mad Far‘iy ( . ( الْمد الْفَرعى
A. Mad Tabî‘iy ( ( الْم  د الطَّبِيع  ي / الْم  د اْلأَصل  ى
Mad Tabî‘iy
( الْمد الطَّبِيعي )
Ialah apabila ada Huruf
Mad yang sesudahnya
tidak berupa Hamzah ( (ء
/ huruf mati ( ) /huruf
yang di –Tasydîd23 ( )
Contoh
Panjang
Bacaan
Huruf Mad
كَانَ – ملك
ي ُ كو ُ ن - لَه ما
قيلَ- بِه علْ  م
2 harakat
terbitan Menara Kudus- India- Pakistan, Huruf Mad “Yâ’ ” yang tidak ada rasm tercetak dengan
tanda “ Kasrah berdiri” sebagaimana dimaklumi.
23 Hakikat "huruf ber-Tasydîd " adalah 2 (dua) huruf sama – yang pertama mati- dan
yang kedua hidup.
Yang mempunyai hukum semisal Mad Tabî‘iy ( ملْحقَا  ت اْلمَدالطَّبِيعي ) adalah:
1
Mad Badal
(مد الْبدلِ)
Ialah apabila ada Huruf
Mad yang sebelumnya
berupa Hamzah ( ,(ء
dan sesudahnya tidak
diikuti Hamzah ( / (ء
huruf mati ( ) .
Contoh
2 harakat
ءَامنوا
ُأوتوا
إِيمانَ
2
Mad ‘Iwad
( مد الْعوض )
ialah apabila ada Huruf
Mad “Alif” yang
menjadi pengganti
Fathah Tanwîn ketika
Waqaf, dengan syarat
yang di Tanwîn bukan
Tâ’ Marbûtah.
قَليلاً
خبِيراً
مبِيناً
مآءًً
3 Mad Silah
Qasîrah
مد
(الصلَة الْقَصيرة)
ialah apabila terdapat
Hâ’ Damîr ( ه / ه ) yang
sebelum-nya berupa
huruf hidup, dan
sesudahnya juga
berupa huruf hidup
yang bukan Hamzah
Qata‘, kecuali  . يرضه لَ ُ كم

 
2 harakat
ح – ى - 4
ط – ه -
ر
Maksudnya: Huruf Mad
“Alif” yang terdapat
pada Huruf Hijâiyyah
dan menjadi Fawâtihus
Suwar (awal surah),
adalah huruf yang
terkumpul dalam lafaz
24 حي طَ  هرَ .




2 harakat
5 Mad Tamkîn
( مد
التمكين )
ialah apabila berhimpun
2 (dua) Yâ’, yaitu
Yâ’ Pertama ber-
Tasydîd dan berbaris
Kasrah, sedang Yâ’
Kedua mati/sukûn.



2 harakat
Praktek Mad Tabî‘iy pada Fawâtihus Suwar
Surat Yûnus ayat 1: , Surat Hûd ayat 1: , Surat Yûsuf ayat 1: , Surat ar-
Ra‘d ayat 1: , Surat Ibrâhîm ayat 1: , Surat al-Hijr ayat 1: , Surat
Maryam ayat 1: , Surat Tâhâ ayat 1: , Surat asy-Syu‘ara’ ayat 1:
, Surat an-Naml ayat 1:  , Surat al-Qasas ayat 1: , Surat Yâsîn ayat
1:  , Surat Ghâfir ayat 1: , Fussilat ayat 1: , Surat asy- Syûrâ ayat 1:
, Surat az- Zukhruf ayat 1: , Surat ad-Dukhân ayat 1: , Surat al- Jâtsiyah
ayat 1: , Surat al-Ahqâf ayat 1: .
حي طَ  هر 24 , Pada Mushaf al-Madînah an-Nabawiyyah huruf ه - ط - ي - ح - dan ر
yang menjadi awal surah- tidak ada tanda baca harakat - sedang pada sebagian Mushaf,
misalnya: Mushaf Standar, terbitan Menara Kudus- India- dan Pakistan, diatas huruf-huruf
tersebut ada tanda Fathah berdiri.
B. Mad Far‘iy ( ( الْم  د الْفَرعى
Mad Far‘iy
الْمد الْفَرعى
Ialah apabila ada Huruf Mad
yang sesudahnya berupa
Hamzah ( ء ) / huruf mati ( )
/ huruf yang di Tasydîd ( ).
Contoh Panjang
Bacaan
Huruf
Mad
Meliputi:
1 Mad Wâjib
Muttasil
اْلمَد
(الْواجِ  ب الْمتص ُ ل)
ialah apabila ada Huruf Mad
yang sesudahnya berupa
Hamzah ( ء ) dan terletak di
dalam satu kata.



4 harakat
atau
5 harakat,
tanda
bacanya
( …~ ء)
2
Mad Jâ`iz
Munfasil
الْمد
الْجائز الْ  منفَص ُ ل
ialah apabila ada Huruf Mad
yang sesudahnya berupa
Hamzah ( ء ) dan terletak di
lain kata.
  
  
  
 
4 harakat
atau
5 harakat25,
tanda
bacanya
(…~ ء)
25 Sebenarnya Huruf Mad pada Mad Jâiz Munfasil diperbolehkan juga dibaca dengan 2
harakat, akan tetapi menurut Tarîq Tayyibah an-Nasyr oleh Ibn al- Jazârî ( bukan Tarîq asy-
Syâtibiyyah). Dengan demikian apabila ingin memakai Tarîq Tayyibah an-Nasyr, haruslah tahu
betul ketentuan-ketentuan paket bacaannya. Oleh karenanya, bagi masyarakat Al-Qur’an
Indonesia / Asia Tenggara dianjurkan untuk memakai Tarîq asy-Syâtibiyyah, sebab Tarîq ini lebih
mudah dan sudah memasyarakat sejak Islam masuk Indonesia.
Perhatian
1. Apabila ada Huruf Mad
yang tidak ada rasm
terdapat pada Hâ’ Damîr
ه / ه ) ) yang sebelumnya
berupa huruf hidup -
dan sesudahnya berupa
huruf Hamzah hidup di
lain kata, juga disebut
Mad Jâ`iz Munfasil,
namun populer juga
disebut “Mad Silah
Tawîlah”.
   
 
2. Apabila terdapat Mad
Wajib Muttasil atau Mad
Jâ`iz Munfasil26 lebih dari
satu tempat, maka cara
membacanya sebagai
berikut:
- Bila Huruf Mad tempat
pertama ketika Wasal
mempergunakan panjang
bacaan 4 harakat,
maka Huruf Mad
tempat kedua dan seterusnya
ketika Wasal
26 Mad Wâjib Muttasil dan Mad Jâiz Munfasil, sama di dalam kekuatan dan
martabatnya (  متساوِيان فى الُْقوة والْمرتبة  ). Maka dari itu ketika pembaca Al- Qur’an mendapatkan kedua
hukum tersebut- haruslah dibaca sama; artinya bila salah satu Huruf Mad-nya dibaca dengan 4
harakat- maka yang satunya juga 4 harakat, demikian bila dibaca 5 harakat ( lihat Mudzâkarah fit
Tajwîd, hal. 71; ket : tentunya menurut Tarîq asy-Syâtibiyyah )
seyogyanya juga mempergunakan
panjang bacaan
4 harakat.
- Bila Huruf Mad tempat
pertama ketika Wasal mempergunakan
panjang bacaan
5 harakat, maka Huruf Mad
tempat kedua dan seterusnya
ketika Wasal seyogyanya
juga mempergunakan
panjang bacaan 5 harakat.
3 Mad Lâzim
Kilmiy
Mukhaffaf
ialah apabila ada Huruf Mad
yang sesudahnya berupa
huruf mati (sukûn) asli27 dan
terletak dalam satu kata.
 6 harakat,
tanda
bacanya
( ~…)
(ّ ~.…)
6 harakat,
tanda
bacanya
( ~…)
( ~…)
4 Mad Lâzim
Kilmiy
Mutsaqqal
ialah apabila ada Huruf Mad
yang sesudahnya berupa
huruf ber-Tasydîd, dan
terletak dalam satu kata.
 
 
 
5 Mad Lâzim
Harfiy
Mukhaffaf
ialah apabila ada Huruf Mad
yang sesudahnya berupa huruf
mati (sukûn) asli yang
tidak di-Idghâmkan, yaitu terdapat
pada Huruf Hijâiyah
yang menjadi Fawâtihus
Suwar (awal surat).
- Sîn pada 
- Mîm pada 
6 Mad Lâzim
Harfiy
Mutsaqqal
ialah apabila ada Huruf Mad
yang sesudahnya berupa huruf
mati (sukûn) asli yang di-
Idghâmkan, yaitu terdapat pada
Huruf Hijâiyah yang menjadi
Fawâtihus Suwar (awal
surat).
 Lâm pada 
 Lâm pada 
 Sîn pada 
6 harakat
27 Huruf mati (sukûn) asli adalah huruf yang tetap mati (sukûn) baik ketika wasal maupun
waqaf.
Perhatian
1 Huruf Hijâiyah yang menjadi
Fawâtihus Suwar (awal
surat) yang mempunyai
hukum Mad Lâzim Harfiy
Mukhaffaf / Mutsaqqal
terkumpul dalam lafaz  نقَص
(ن- ق- ص- س- ل- : سُل ُ كم
ك- م )
2. Kesimpulan semua jenis
Mad Lâzim tersebut di atas
dapat didefinisikan sebagai
berikut: " apabila terdapat
Huruf Mad, sesudahnya
diikuti huruf mati ( ) asli
/ huruf ber–Tasydîd ( )
yang masih terletak
dalam satu kata28 –maka
terjadilah hukum Mad
Lâzim", dan panjang
bacaan Huruf Madnya
adalah 6 harakat.
7
Mad Lein
Ialah apabila ada Huruf Lein,
sesudahnya berupa huruf
mati / sukûn tidak asli (ket.
baik berupa huruf Hamzah
maupun bukan) yang
disebabkan Waqaf. Dengan
catatan ketika terdapat Mad
Lein lebih dari satu tempat,
cara membacanya sebagai
berikut:
- Bila Mad Lein tempat
- من خوف
- والصيف
2 harakat
/
4 harakat
/
6 harakat
28Apabila antara huruf Mad dan huruf mati (sukûn) asli berikutnya tidak dalam satu kata,
maka Huruf Mad harus dibuang (di dalam bacaan).
pertama mempergunakan
panjang bacaan 2
harakat, maka seyogyanya
Mad Lein kedua
dst. juga mempergunakan
panjang bacaan 2 harakat.
- Bila Mad Lein tempat
pertama mempergunakan
panjang bacaan 4
harakat, maka seyogyanya
Mad Lein kedua
dst. juga mempergunakan
panjang bacaan 4 harakat.
- Bila Mad Lein tempat
pertama mempergunakan
panjang bacaan 6 harakat,
maka seyogyanya Mad
Lein kedua dst. juga
mempergunakan panjang
bacaan 6 harakat.
Perhatian
Panjang bacaan Huruf Lein “Yâ’
“ tanpa rasm pada ” ع "nya
 dan  adalah 4
harakat atau 6 harakat.
8 Mad ‘Ârid
lis Sukûn29
Ialah apabila ada Huruf Mad,
sesudahnya berupa huruf
mati (sukûn) tidak asli / ‘Aridh
(terjadinya huruf mati tidak
asli, disebabkan adanya
peristiwa Waqaf). Dengan
catatan ketika terdapat Mad
‘Ârid lis Sukûn lebih dari satu
tempat, cara membacanya
sebagai berikut:
- Bila Mad ‘Ârid lis Sukûn
tempat pertama mempergunakan
panjang bacaan
2 harakat, maka tempat
kedua dan seterusnya –
seyogyanya juga mempergunakan
panjang bacaan 2
harakat.
- Bila Mad ‘Ârid lis Sukûn
tempat pertama mempergunakan
panjang bacaan 4
harakat, maka tempat
kedua dan seterusnya –
  -
 -
2 harakat
/
4 harakat
/
6 harakat.
29 Apabila terdapat Mad ‘Ârid lis Sukûn dan Mad Lein,dimana letak Mad ‘Ârid lebih awal,
mempunyai 6 (enam) cara membaca , yaitu :
- Bila Mad ‘Ârid dibaca al-Qasr (2 harakat), Mad Lein juga dibaca dengan al-Qasr (2
harakat).
- Bila Mad ‘Ârid dibaca at-Tawassut (4 harakat), Mad Lein boleh dibaca at-Tawassut (4
harakat) atau al-Qasr (2 harakat).
- Bila Mad ‘Ârid dibaca at-Tûl (6 harakat), Mad Lein boleh dibaca at-Tûl (6 harakat) atau
at-Tawassut (4 harakat) atau al-Qasr (2 harakat).
Namun apabila letak Mad Lein lebih awal dari Mad ‘Ârid lis Sukûn ,juga mempunyai 6 (enam) cara
membaca , yaitu sebagaimana berikut :
- Bila Mad Lein dibaca al-Qasr (2 harakat), Mad ‘Ârid boleh dibaca al-Qasr (2 harakat)
atau at-Tawassut (4 harakat) atau at-Tûl (6 harakat)..
- Bila Mad Lein dibaca at-Tawassut (4 harakat), Mad ‘Ârid boleh dibaca at-Tawassut (4
harakat) atau at-Tûl (6 harakat).
- Bila Mad Lein dibaca at-Tûl (6 harakat),Mad ‘Ârid juga dibaca dengan at-Tûl (6 harakat).
seyogyanya juga mempergunakan
panjang bacaan 4
harakat.
- Bila Mad ‘Ârid lis Sukûn
tempat pertama dibaca
panjang 6 harakat, maka
tempat kedua dan seterusnya
–seyogyanya juga
dibaca panjang 6 harakat.
Perhatian
1. Apabila ada huruf
Hamzah di akhir kata
yang sebelumnya berupa
Huruf Mad – yang
kemudian di-Waqafkan,
ia disebut Mad Muttasil
‘Ârid; dengan catatan :
*Bila Mad Wajib Muttasil
sebelumnya -ketika
Wasal mempergunakan
panjang bacaan 4 harakat,
maka Mad Muttasil
‘Ârid boleh mempergunakan
panjang bacaan
4 harakat atau 6 harakat.
**Bila Mad Wajib Muttasil
sebelumnya -ketika Wasal
mempergunakan panjang
bacaan 5 harakat,
maka Mad Muttasil ‘Ârid
boleh mempergunakan
panjang bacaan 5
harakat atau 6 harakat.
 
 
 
* 4 harakat /
6 harakat
** 5 harakat/
6 harakat
2. Apabila ada huruf ber-
Tasydid di akhir kata yang
sebelumnya berupa Huruf
Mad dan kemudian di-
Waqaf-kan, maka ia
disebut Mad Lâzim ‘Ârid.
3. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa "panjang
bacaan Huruf Mad
pada semua jenis hukum
Mad ‘Ârid lis-Sukûn
minimal sebagaimana
panjang bacaannya ketika
di-Wasalkan".
  
 
  
6 harakat.
Latihan Praktek Mad Wâjib Muttasil
( التطْبِي  ق فى الْم  د الْواجِبِ الْ  متصلِ )
-  -   - -  - 
 -  -      -  - 
 -   - --    - 
   -    -   - 
Latihan Praktek Mad Jâiz Munfasil
( التطْبِي  ق فى الْم  د الْجائزِ الْ  منفَصلِ )
  -   -   -  
-  -    -   -   - 
  -   -   -   -  
   -  -   -  
-     -  -    -
  -     - 
Latihan Praktek
Mad Lâzim Harfiy Mukhaffaf & Mutsaqqal dan Huruf ع
pada Fawâtihus Suwar
( الت ْ طبِي  ق فى الْم  د اللاَّزِمِ الْحرفى الْ  مخفَّف والْ  مثَقَّلِ والْعي  ن فى فَواتحِ ال  سورِ)
Surat al-Baqarah ayat 1: , Surat Âlu ‘Imrân ayat 1: , Surat al-A‘râf ayat 1:
, Surat Yûnus ayat 1: , Surat Hûd ayat 1: , Surat Yûsuf ayat 1: , Surat
ar-Ra‘d ayat 1: , Surat Ibrâhîm ayat 1: , Surat al- Hijr ayat 1: , Surat
Maryam ayat 1: , Surat asy- Syu‘arâ’ ayat 1: , Surat an- Naml ayat
1: , Surat al -Qasas ayat 1: , Surat al- ‘Ankabût ayat 1: , Surat Ar-
Rûm ayat 1: , Surat Luqmân ayat 1: , Surat Yâsîn ayat 1:  , Surat Sâd
ayat 1: , Surat Ghâfir ayat 1: , Surat Fussilat ayat 1: , Surat asy-Syûrâ
ayat 1- 2:  - , Surat az-Zukhruf ayat 1: , Surat ad-Dukhan ayat 1:
, Surat al-Jâtsiyah ayat 1: , Surat Qâf ayat 1: , Surat al:Qalam ayat 1:
.
VI. IDGHÂM SAGHÎR
( الإِْدغَام ال  صغي  ر )
Idghâm Shaghîr ( الإِْدغَام الصغير ) ialah: apabila huruf yang di-
Idghâmkan (huruf pertama) berupa huruf mati dan huruf kedua di mana huruf
pertama di-Idghamkan kepadanya berupa huruf hidup. Idghâm Saghîr terbagi
menjadi tiga (3) jenis, yaitu:
No Jenis Arti Contoh Keterangan
1 Idghâm
Mutamâtsilein
(اْلإِدغَام
الْ  مَتماثلَينِ)
ialah apabila
huruf pertama
dan kedua sama
didalam
makhraj dan
sifat.
يوجهه  
يغتب بع  ض ُ كم 
- Huruf pertama di-
Idghâmkan / dilebur
menjadi huruf kedua
-baik terdapat dalam
satu kata
maupun di lain kata,
sehingga menjadi
huruf kedua yang di Tasydîd.
- Huruf pertama pada
jenis ini tidak di
Idghâmkan ke dalam
huruf kedua
apabila berupa Huruf
Mad, misalnya
قاُلوا و  هم- في يومِ
2 Idghâm
Mutajânisein
(اْلإِدغَام
الْ  متجانِسينِ)
ialah apabila
huruf pertama
dan kedua sama
di dalam
makhraj, akan
tetapi berbeda
sifat.
ودت طَّائفَة 
وقَالَت طَّائفَة 
لَهمت طَّآئفَة 
ت " " di-Idghâmkan
ke dalam " ط " dengan
sempurna
اْلإِدغَام الْكَامل , yakni
menjadi huruf kedua
yang di- Tasydîd.
لَئن بسطْت 
فَرطْتم 
أَحطْ  ت 
ط " " di-Idghâmkan
ke dalam" ت" dengan
tetap ada Sifat Itbâq,
namun Sifat Qalqalahnya
ditiadakan (اْلإِدغَام الناقص)
أجِيبت دعوت ُ كما 
أَثْقَلَت دعوا 
ت " " di-Idghâmkan ke
dalam " د " dengan
sempurna (اْلإِدغَام
الْكَام ُ ل) , yakni menjadi
huruf kedua yang di-
Tasydîd.
قَد تبين 
عقَّدتم 
عبدتم 
د " " di-Idghâmkan
ke dalam " " ت
dengan sempurna
اْلإِدغَام الْكَاملُ , yakni
menjadi huruf kedua
yang di- Tasydîd.
ث " يلْهثْ ذّلك " di-Idghâmkan
ke dalam " " ذ
dengan sempurna
اْلإِدغَام الْكَاملُ) ) , yakni
menjadi huruf kedua
yang di- Tasydîd.
إِذْظَّلَ  موا 
إِذْظَّلَمتم 
ذ " " di-Idghâmkan
ke dalam " ظ " dengan
sempurna
اْلإِدغَام الْكَام ُ ل) ), yakni
menjadi huruf kedua
yang di- Tasydîd.
ب " اركَب معنا " di-Idghâmkan
ke dalam " م" dengan
sempurna (اْلإِدغَام
الْكَام ُ ل) , disertai
tempo dengung 2
harakat, yakni menjadi
huruf kedua
yang di- Tasydîd.
3 Idghâm
Mutaqâribein
اْلإِدغَام اُْلمتقَاربين
ialah apabila
huruf pertama
dan kedua
berdekatan
makhraj
maupun
sifat-nya.
ُقلْ ربى
بلْ رفَعه
ل " " di-Idghâmkan
ke dalam" ر " dengan
sempurna (اْلإِدغَام
الْكَاملُ) , yakni
menjadi huruf kedua
yang di- Tasydîd.
ق" اَلَم نخُلقْكُّم " di-Idghâmkan
ke dalam" ك " dengan
sempurna اْلإِدغَام
الْكَامل . Boleh juga
dibaca dengan Idghâm
Naqis اْلإِدغَام
الناق  ص yaitu Sifat
Isti‘lâ’ huruf " " ق
tetap ada –namun
Sifat Qalqalahnya
ditiadakan
Catatan  ماليه * هلَك juz 29 surat al-Haqqah ayat 28/29, ketika
membaca  ماليه di-Wasalkan dengan  هلَك , Hâ’- nya  ماليه
(Hâ’ Saktah) boleh dibaca 2 (dua) wajah, yaitu: 1. Izhâr
2 ;(سكْتة خفيفَة ) . Idghâm Mutamâtsilein ( اْلإِدغَام
الْكَام ُ ل) , yakni menjadi huruf kedua yang di- Tasydîd.
VII. SAKTAH
( ال  سكْ  ت )
Saktah ialah berhenti membaca selama 2 harakat tanpa bernafas ,
dengan ada niat meneruskan bacaan. Adapun bacaan Saktah untuk Riwayat Hafs
menurut Tarîq asy-Syâtibiyyah di dalam Al-Qur’an ada 4 ( empat ) tempat
berikut:
No Lafaz Surat Ayat Keterangan
1     اَلْكَهف
1-2
Pada lafaz عوجا ada
hukum Mad ‘Iwad; dan
oleh karena ia sebagai
akhir ayat, tentunya boleh
juga diwaqafkan.
2      52
3    27 القيامةْ
Nûn Mati ( نْ ) tidak
diidghâmkan ke dalam
Râ’.
4      14 اَلْ  مطَفِّفين Lamnya بلْ tidak di-
Idghâmkan ke dalam Râ’.
VIII. TAFKHÎM DAN TARQÎQ
( التفْخي  م والترقي  ق )
Tafkhîm ( التفْخي  م ) ialah sifat ketebalan pada suatu huruf di mana ketika
ia diucapkan, posisi mulut dipenuhi oleh gema suaranya. Sedang sifat sebaliknya
disebut Tarqîq ( الترقي  ق )َ , yakni tipis yang tentunya ketika ia diucapkan posisi
mulut tanpa dipenuhi oleh gema suaranya. Apabila dilihat dari sifat-sifat tersebut
Huruf Hijâiyyah terbagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
A. Huruf –Huruf Yang Dibaca Tafkhîm ( ( التفْخي  م
Dibaca Tafkhîm Keterangan
1 Huruf Isti‘lâ’ Terkumpul dalam خص ضغط قظْ  yakni - خ- ص- ض- غ
ط- ق- ظ yang tingkat ketebalannya sebagai berikut:
a Jika Huruf Isti‘lâ’ berharakat Fathah dan sesudahnya
berupa Alif, misalnya:  صابِرا – طَاب ( ini paling
tebal ).
b Jika Huruf Isti‘lâ’ berharakat Fathah dan sesudahnya
bukan Alif, misalnya  طَبع – ضرب ; atau jika Huruf
Isti‘lâ’ mati dan huruf sebelumnya berharakat
Fathah, misalnya  مطْلَعِ - مغِرب (tebalnya di
bawah nomor 1).
c Jika Huruf Isti‘lâ’ berharakat Dammah,
misalnya  ُ طوبى –  ضِرب ; atau jika Huruf Isti‘lâ’ mati
dan huruf sebelumnya berharakat Dammah,
misalnya مقْم  حونَ – ويطْع  مونَ  (tebalnya di bawah
nomor 2).
d Jika Huruf Isti‘lâ’ berharakat Kasrah, misalnya
دخلَت- قسم ٌة  atau jika Huruf Isti‘lâ’ mati dan huruf
sebelumnya berharakat Kasrah, misalnya – إِخراج
إِطْعام (tebalnya di bawah nomor 3).
2 Râ’ yang berada di
awal atau tengah
kata.
a Jika Râ’ berharakat Fathah, misalnya  . رحمة - أَرءَيت
b Jika Râ’ berharakat Dammah, misalnya .  رِزُِقوا – كَفَروا
c Jika ada Râ’ mati terletak sesudah huruf yang
berharakat Fathah, misalnya . أَرسلْنا
d Jika ada Râ’ mati terletak sesudah huruf yang
berharakat Dammah, misalnya . يرزُقونَ
e Jika ada Râ’ mati terletak sesudah huruf yang
berharakat Kasrah ‘Âridî (tidak asli), misalnya ارجِعى
. – اركَعوا
f Jika ada Râ’ mati, terletak sesudah huruf
berharakat Kasrah yang berada di akhir kata
sebelumnya, misalnya  .رب ارحم  هما - إِن ارتبتم
g Jika sebelum Râ’ mati berupa huruf yang berharakat
Kasrah Asliyyah dan sesudahnya berupa Huruf
Isti‘lâ’ yang tidak berharakat Kasrah, misalnya
. فرقَة – قرطَاس
3 Râ’ berada di akhir
kata. Jika Râ’ mati – baik Asliyyah / ‘Âridah, terletak:
a Sesudah huruf yang berharakat Fathah, misalnya
والْقَمر yang di-Waqafkan dan ولاَتذَ ر ; atau di antara
keduanya dipisah Huruf Sahîh mati misalnya
والعصِر yang di-Waqafkan.
b Sesudah Alif, misalnya النّاَ ر yang di-Waqafkan.
c Sesudah huruf yang berharakat Dammah misalnya
بِالن ُ ذرِ yang di -Waqafkan, atau di antara keduanya
dipisah Huruf Sahîh mati misalnya مع الْعسرِ yang di-
Waqafkan.
d Sesudah Wâw mati misalnya فى الص  دورِ yang di-
Waqafkan.
4
Lâm Lafaz الله 30
a Jika " الله " dibaca dari permulaan, misalnya . اللهُ الصم  د
b Jika " الله " didahului huruf yang berharakat Fathah,
misalnya  هوالله
c
Jika " الله " didahului huruf yang ber-harakat Dammah
misalnya . ر  سو ُ ل الله
5 Alif a Jika Alif terletak sesudah Huruf Isti‘lâ’, misalnya
قَالَ
b Jika Alif terletak sesudah Lâm Lafaz Jalâlah, yang
tidak didahului oleh huruf berharakat Kasrah,
misalnya يِري  د الله
c Jika Alif terletak sesudah Râ’ yang tidak dibaca al-
Imâlah, misalnya . ولَوترى
B. Huruf – Huruf Yang Dibaca Tarqîq .( ( الترقي  ق
Dibaca Tarqîq Keterangan
1 Huruf Istifâl yaitu Huruf Hijâiyyah selain Huruf Isti‘lâ’.
2 Râ’ yang berada di a Jika Râ’ berharakat Kasrah, misalnya . رِجالاً - من امرِنا
30 Lafaz Jalâlah dibaca Tafkhim agak sulit bagi orang Sunda yang tidak ahli membaca al-
Qur’an, sebab mereka memiliki dialek yang kurang mendukung.
awal atau tengah
kata.
b Jika sebelum Râ’ mati berupa huruf yang berharakat
Kasrah Asliyyah dan sesudahnya bukan Huruf Isti‘lâ’,
misalnya . فرعونَ
3 Râ’ yang berada di
akhir kata
a Jika Râ’ mati (‘Âridî / tidak asli) sesudah huruf
berharakat Kasrah, misalnya Waqaf pada , ُقدرَ- مدكر
atau antara keduanya dipisah Huruf Sahîh mati yang
bukan Huruf Isti‘lâ’- misalnya ولاَبِكْر yang di-
Waqafkan.
b Jika Râ’ mati (‘Âridî / tidak asli) sesudah Yâ’ mati,
misalnya - خبِير - بصير yang di –Waqafkan.
4 Lâm lafaz Jalâlah ( الله) Jika sebelum lafaz " الله " didahului huruf yang
berharakat Kasrah, misalnya ومن يتقِ الله
5 Alif Jika Alif tidak terletak sesudah Huruf Isti‘lâ’, atau tidak
terletak sesudah Lâm lafaz الله , misalnya  . لاَريب
C. Dapat Dibaca Tafkhîm atau Tarqîq
Dapat Dibaca
Tafkhîm/Tarqîq
Keterangan
1 Râ’ di tengah kata Jika sebelum Râ’ mati berupa huruf yang
berharakat Kasrah Asliyyah dan sesudahnya
berupa Huruf Isti‘lâ’ yang berharakat Kasrah,
misalnya . ُ كلُّ فرقٍ
2 Râ’ di akhir kata Jika akhir kata berupa Râ’ mati tidak asli dan
huruf sebelumnya berupa huruf yang
berharakat Kasrah, namun dipisah oleh Huruf
Isti‘lâ’ yang mati (sukûn). Ini hanya terdapat
pada عين الْقطْر dan  مصر ketika dibaca Waqaf.
إِذَا يسرِ - 3 (Surat al-Fajr 4)
أَنْ أَسرِِ - ( di manapun
Ketika Waqaf pada lafaz- lafaz ini: 'illatnya – pada
hakekatnya sesudah Râ’ berupa Yâ’ yang dibuang
berada dalam Al-Qur'-
an)
فَأَسرِِِ - (di manapun
berada dalam Al-
Qur’an)
ون ُ ذرِ - (ada 6 tempat di
surat al-Qamar)
( ket; dalam Ilmu Qiraat disebut Yâ’ Zâidah ).
IX. WAQAF DAN IBTIDÂ’
Diantara fase dan syarat agar pembaca Al-Qur’an dapat mencapai kualitas
bacaan tartil optimal sebagaimana tuntutan ayat 4 surat al-Muzzammil adalah
mengetahui dan menguasai hal-ihwal Waqaf (  معرِفَُة الْ  وُقوف ). Mengingat
persoalan ini tidak mudah apalagi bagi mereka yang tidak menguasai tata bahasa
Arab, para ulama merumuskannya dengan “Tanda/Rumuz Waqaf”. Perlu digaris
bawahi bahwa persoalan Waqaf ini sangat erat pula dengan hal-ihwal Ibtidâ’-
yakni “ memulai bacaan setelah Waqaf”. Maka wajar bila persoalan Waqaf &
Ibtida’ telah menjadi agenda pembicaraan para ulama dari dahulu hingga saat
ini, sebab akan berimplikasi terhadap penafsiran Al-Qur’an. Dengan
memperhatikan Waqaf & Ibtida’ didalam membaca Al-Qur’an akan kelihatan
ketepatan makna ayat-ayat Al-Qur’an. Sebaliknya dengan tidak
memperhatikannya, maka bisa jadi makna suatu ayat akan berbeda sama sekali
dengan maksud yang dikehendaki oleh ayat tersebut. Oleh karenanya, Tanda
Waqaf, adalah ibarat “ kompas” penentu arah kemana harus dituju. Dengan kata
lain, Tanda Waqaf adalah semacam “ pelita” sehingga pembaca Al-Qur’an dapat
mengetahui maksud yang terkandung di dalam ayat.
Untuk diketahui bahwa dasar dan pedoman utama Waqaf pada suatu
lafaz dalam Al-Qur'an adalah perhatian terhadap makna dan susunan redaksi
ayat. Artinya, ketika hendak Waqaf haruslah diusahakan sampai pada kalâm/
pembicaraan yang sempurna. Dengan kata lain, apabila didalam membaca Al-
Qur'an mendapatkan lafaz yang berbentuk Fi‘il (Kata Kerja)- maka harus pula
dibaca hingga Fâ‘il (Subyek)- nya, apabila mendapatkan lafaz yang berbentuk
Mubtadâ’ (Pokok Kalimat) – harus pula dibaca hingga Khabar (Predikat)-nya,
apabila mendapatkan Zanna wa Akhawâtuhâ ( ظَن وأَخواتها ) harus pula dibaca
hingga Maf’ûl Pertama dan juga Maf‘ûl Kedua-nya,dan apabila mendapatkan
Syarat ( شرط ) harus pula hingga Jawâb ( جواب ) - nya.
Adapun hal ihwal Waqaf yang terbahas pada literatur utama adalah ada 4
(empat) macam cara, yaitu:
A. Waqaf Ikhtibâriy
Yaitu berhenti membaca untuk mengambil nafas ,namun maksud dan
tujuannya adalah untuk melatih atau menguji seorang murid bagaimana cara
me-Waqafkan jika sewaktu-waktu ingin berhenti mendadak.
B. Waqaf Intizariy
Yaitu berhenti membaca untuk jam‘ul qirâ’ât / mengumpulkan macammacam
wajah qira’at karena ragamnya Riwayat. Ini hanya berlaku untuk
pembaca Al-Qur’an yang belajar Qirâ’ât Sab‘ atau Qirâ’ât ‘Asyr.
C. Waqaf Idtirâriy
Yaitu berhenti membaca karena terpaksa, misalnya kehabisan nafas, lupa
atau tidak mampu meneruskan bacaan dan yang semisalnya.
D. Waqaf Ikhtiyâriy
Yaitu berhenti membaca untuk mengambil nafas yang memang disengaja,
tidak ada sebab-sebab seperti keadaan yang terjadi pada 3 (tiga) macam
Waqaf diatas.
Menurut penelitian mayoritas ulama Waqaf Ikhtiyâriy dibagi menjadi
5 tingkatan, yaitu :
1. Waqaf Tâm
Menurut arti bahasa adalah Waqaf yang sempurna. Sedang
menurut arti istilah adalah Waqaf pada akhir kalam atau pembicaraan
yang sudah sempurna dan tidak terkait dengan redaksi pembicaraan
sesudahnya, baik dari segi lafaz maupun maknanya. Oleh sebab itu untuk
jenis tingkatan ini bagus di-Waqafkan ( baik untuk berhenti) dan Ibtidâ’
(memulai bacaan lagi) pada lanjutannya – tidak usah mengulang dari
sebelumnya.
2. Waqaf Kâfî
Menurut arti bahasa adalah Waqaf yang cukup. Sedang menurut
arti istilah adalah Waqaf pada akhir kalâm atau pembicaraan yang sudah
sempurna, akan tetapi masih ada kaitan makna ( satu pembicaraan )
dengan redaksi pembicaraan sesudahnya. Oleh sebab itu untuk jenis
tingkatan ini bagus untuk Waqaf atau baik untuk berhenti; sedangkan
Ibtidâ’ ( memulai bacaan lagi) cukup pada lanjutannya – tidak usah
mengulang dari sebelumnya.
3. Waqaf Hasan
Menurut arti bahasa adalah Waqaf yang baik. Sedang menurut arti
istilah adalah Waqaf pada akhir kalâm atau pembicaraan yang sudah
sempurna, akan tetapi masih ada kaitan dengan redaksi pembicaraan
sesudahnya, baik dari segi lafaz maupun maknanya. Artinya lafaz
sesudahnya mungkin masih menjadi Sifat atau Badal atau Ma‘tûf atau
semacam-nya. Oleh karena itu untuk jenis tingkatan ini hakekatnya
sudah boleh di-Waqafkan, sebab makna redaksinya sudah dapat
dipahami. Maka apabila Waqaf dipertengahan ayat, untuk Ibtidâ’-nya
(memulai bacaan lagi) harus dari sebelumnya, atau sebelumnya lagi.
Artinya dari lafaz mana saja yang memenuhi syarat untuk Ibtidâ’ agar
supaya tidak cacat makna.
Namun apabila kebetulan Waqaf diakhir ayat – tentu Ibtidâ’-nya
cukup pada lanjutan sesudahnya, tidak usah mengulang dari sebelumnya,
mengingat adanya informasi Hadits bahwa Rasulullah SAW ketika
membaca Al-Qur’an pernah Waqaf pada setiap akhir ayat. Namun apabila
pembaca Al-Qur'an masih mempunyai nafas cukup, seyogyanya bacaan
di-Wasalkan.
Sebagai contoh, membaca اَلْحم  د للهِ (Waqaf)- kemudian diulangi
الْحم  د للهِ رب العلَمين (Waqaf Hasan) الرحمنِ الرحيمِ (Waqaf Hasan) ملك يومِ
الدينِ (Waqaf Tâm).
4. Waqaf Qabîh
Menurut arti bahasa adalah Waqaf yang jelek. Sedang menurut arti
istilah adalah Waqaf pada akhir kalâm atau pembicaraan yang belum
sempurna dan belum dapat dipahami.
Oleh karena itu untuk jenis tingkatan ini tidak boleh di-Waqafkan,
kecuali dalam keadaan darurat – misalnya kehabisan nafas, atau ada
kejadian mendadak apa saja yang mengharuskan untuk Waqaf.
Maka bila terpaksa Waqaf, haruslah Ibtidâ’ dari sebelumnya atau
sebelumnya lagi dari lafaz mana saja yang memenuhi syarat untuk Ibtidâ’
(memulai bacaan lagi), agar supaya tidak cacat makna. Sebagai misal :
- Waqaf pada lafaz yang berbentuk Fi‘il tidak dengan Fâ‘il-nya.
- Waqaf pada lafaz yang menunjukkan Mubtadâ’ tidak dengan
Khabarnya.
- Waqaf pada lafaz yang menjadi Mudâf tidak dengan Mudâf Ilaihnya.
- Waqaf pada lafaz yang menunjukkan Fi‘il Syarat, Amr, Nâhî,
Tamanniy, Istifhâm, Qasam, tidak dengan Jawâb-nya.
5. Aqbahul Waqfi
Waqaf yang paling jelek adalah jika mengakibatkan rusak makna
dan maksud isi kandungan Al-Qur'an. Apabila pembaca mengetahui
maknanya dan sengaja Waqaf, haram hukumnya, apalagi disertai i‘tiqad
dalam hati tentunya bisa menjadikan kufur- na‘ûdzu billâh.
Sebagai contoh Aqbahul Waqfi ( Waqaf paling jelek ) – misalnya :
- membaca firman Allah  وما من إِله ( Waqaf) – artinya " tidak ada Tuhan ".
- membaca firman Allah إِنَّ اللهَ لاَيهدى (Waqaf)–artinya " Allah tidak
memberi petunjuk".
Adapun rumuz-rumuz Waqaf yang populer di dalam pencetakan
Mushaf/ Al-Qur’an31 dari 5 (lima) tingkatan Waqaf Ikhtiyâriy tersebut
adalah sebagaimana berikut:
a. Rumuz Waqaf ( م ) = Waqaf Lâzim ( .( الْوقْ  ف الْلاَزِم
Artinya : Harus Waqaf pada lafaz yang dibelakangnya ada tanda ( ( م
tersebut; sebab jika di-Wasalkan dapat merubah makna – misalnya :
membaca firman Allah وما  هم بِ  مؤمنِين (م) يخاد  عونَ اللّه . Apabila di-Wasalkan
tentu akan terjadi kekacauan makna ; sebab lafaz يخاد  عونَ  akan dikira
sebagai " Sifat " –nya مؤمنِين  , berarti akan bermakna " orang-orang
mukmin yang menipu Allah ....".
b. Rumuz Waqaf ( ط ) = Waqaf Mutlaq ( . ( الْوقْ  ف الْ  مطْلَ  ق
Artinya : Diperbolehkan waqaf dan bagus Ibtidâ’ lanjutannya.
c. Rumuz Waqaf ( ج ) = Waqaf Jâ’iz ( ( الْوقْ  ف الْجائ  ز
Artinya : Diperbolehkan Waqaf dan juga diperbolehkan Wasal, terserah
pembacanya. Sebab maknanya sama bagus, sebagai contoh  وما ُأنزِلَ من
31 Rumuz- rumuz Waqaf yang dipergunakan pada cetakan Mushaf al-Madînah an-
Nabawiyyah adalah hanya 6 ( enam) macam berikut, yaitu : قلى - صلى - ج - لا - م - dan
Waqaf Mu‘ânaqah ( ... ... ). Demikian juga cetakan Mushaf Stándar Departemen Agama R I..
قَبلك (Waqaf Jâ’iz ) – namun juga diperbolehkan Wasal dengan  وبِاْْلأَخرة  هم
يوقنون  , sebab di- ‘Ataf-kan dengan sebelumnya bagus.
d. Rumuz Waqaf ( ز ) = Waqaf Mujawwaz ( ( الْوقْ  ف الْ  مج  و  ز
Artinya : Diperbolehkan Waqaf, namun lebih bagus Wasal. Rumuz ini
disebagian cetakan Mushaf ditulis dengan rumuz ( , ( صلى = الْوص ُ ل أَولَى
misalnya: membaca fiman Allah ُأولئك الَّذين اشتر  وا الحَيوةَ الدنيا بِاْلأَخرة ( ز ) فَلاَ
يخفَّ  ف عن  هم  surat al-Baqarah ayat 86. Lafaz لاَيخفَّ  ف adalah berbentuk Fi‘il
yang diperbolehkan untuk dijadikan permulaan kalâm/pembicaraan.. Dan
oleh karena فَلاَ يخفَّ  ف sebagai Jawâb , maka lebih bagus di-Wasalkan.
Dengan demikian bila dibelakang suatu lafaz ada tanda rumuz ( ( ز
dan ( صلى ), maka masuk pada kriteria Waqaf Kâfî.
e. Rumuz Waqaf ( ص ) = Murakhkhas Darûrah (  ( الْوقْ  ف الْ  مر  خ  ص للض  رورة
Artinya : Mengingat ayatnya panjang dan kawatir kehabisan nafas,
diperbolehkan Waqaf pada kalâm/ pembicaraan yang sudah sempurna/
mafhum – dan pembaca tidak usah Ibtidâ’ dari sebelumnya – akan tetapi
pada lanjutannya. Misalnya , ketika pembaca Al-Qur'an mendapatkan
firman Allah pada surat al- Baqarah ayat 177, yakni ... قبلَ الْمشرِقِ والْمغرِبِ
ص) ... وأَقَام الصلوةَ وءَاتى الزكَوة (ص) ). Padahal hakekatnya, kalâm
sesudahnya masih ada hubungan makna. Oleh karena itu cetakan Al-
Qur’an masakini ada yang tidak mempergunakan Rumuz Waqaf tersebut,
akan tetapi dengan Rumuz Waqaf ( ج ) , namun ada juga yang tidak
mempergunakan tanda Rumuz Waqaf sama sekali ( misalnya Mushaf
cetakan al-Madînah ). Dengan demikian Rumuz Waqaf ( ص ) ini masuk
pada kriteria Waqaf Kâfî.
f. Rumuz Waqaf ( الْوقْ  ف أَولَى = ( قلى
Artinya : diperbolehkan Wasal atau Waqaf, namun lebih bagus Waqaf.
Dengan kata lain, bila di-Wasalkan kalâm/ pembicaraan masih mafhum,
namun bila di-Waqafkan akan lebih mafhum lagi, Sebagai contoh :
كَما ءَامن السفَهآء (قلى) أَلاَ ... - ... surat al-Baqarah ayat 13 .
Maka Rumuz Waqaf ( قلى ) adalah masuk kategori Waqaf Tâm .
g. Rumuz Waqaf ( لاَوقْف فيه = ( لا atau  .لاَ تقف
Artinya : tidak Waqaf disini atau jangan Waqaf padanya, kecuali bila
tanda ini terdapat pada akhir ayat. Sebab kalâm / pembicaraan belum
sempurna dan masih ada hubungan dengan kalâm sesudahnya baik dari
segi lafaz maupun makna. Berarti Waqaf di sini termasuk kategori Waqaf
Qabîh, dan andaikata terpaksa Waqaf harus mengulangi bacaan ( Ibtidâ’)
dari sebelumnya.
Sebagai contoh ... الَّذين توفّي  ه  م الْملئكَُة طَيبِين (لا) يُقوُلونَ
h. Rumuz Waqaf ( . قف = ( قف
Artinya : lebih bagus Waqaf dari pada Wasal . Dengan kata lain pembaca
Al-Qur'an seyogyanya berusaha untuk Waqaf. Maka dari itu Mushaf
Standar Indonesia mengganti Tanda Waqaf tersebut dengan Rumuz
Waqaf ( قلى ) . Sebagai contoh :
- Ketika membaca firman Allah ... فَانطَلَقَا ( قف ) حتى surat al-Kahfî ayat
77 .
i. Rumuz Waqaf ( .  خلاَصُة ماقَالَه الْعلَماءُ : لاَ يوقَ  ف علَيها = ( ق
Artinya : Kesimpulan di antara ulama Ahli Waqaf adalah tidak me-
Waqafkan padanya.
Contoh, ketika membaca firman Allah.. مافى الْأَرضِ جميعا ( ق ) ُثم استوى ..al-
Baqarah 29.
j. Rumuz Waqaf ( . كَذَالك = ( ك
Artinya: Apabila lafaz yang dibelakangnya ada tanda Rumuz Waqaf
demikian ( ك ) berarti sama dengan tanda Rumuz Waqaf sebelumnya,
yakni apabila tempat sebelumnya mempergunakan Tanda Waqaf ( ,( ج
maka berarti tempat yang mempergunakan Tanda Waqaf ( ك ) adalah
tanda Rumuz Waqaf ( . ( ج
k. Rumuz Waqaf ( . سكْتة = ( س
Artinya : Berhenti sejenak tanpa nafas selama 2 harakat . Adapun Saktah
di dalam Al-Qur'an menurut bacaan Riwayat Hafs dari Imâm ‘Âsim adalah
terdapat di 4 (empat) sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya.
l. Rumuz Waqaf ( . (وقفة
Artinya : Sama dengan Saktah, hanya saja lebih lama sedikit. Misalnya :
Ketika membaca firman Allah ... واغْفر لَنا وارحمنا ( وقفة ) أَنت مولَيناَ al-
Baqarah 286.
Namun Rumuz Waqaf demikian hampir tidak dapat dijumpai pada
terbitan Al-Qur’an masakini. Sebab biasanya dihilangkan atau diganti
dengan tanda Rumuz Waqaf ( . (صلى
m. Rumuz Waqaf (... ...) = . الْوقْ  ف الْ  معانقَُة أَوِالْ  مراقَبةُ
Artinya: Diperbolehkan Waqaf pada salah satu yang ada Tanda Waqaf
titik tiga. Misalnya ketika membaca firman Allah ...  ذلك الْكت  ب لاَريب ... فيه
هدى للْ  متقين  . Sebab lafaz  فيه sebagai layak atau terkait makna dengan
kalâm sebelumnya, namun dilain pihak juga layak atau terkait makna
dengan kalâm sesudahnya. Maka dari itu agar tidak kacau makna,
seyogyanya pembaca Al-Qur'an ketika me-Waqafkan pada tanda titik tiga
yang pertama, yakni pada لاَريب - maka lafaz yang ada titik tiga tempat
kedua di-Wasalkan. Sebaliknya apabila pembaca Al-Qur'an me-Waqafkan
pada tanda titik tiga tempat kedua, yakni pada فيه – maka lafaz sebelum
titik tiga tempat pertama ( لاَريب ) di-Wasalkan dengan lafaz sesudahnya
.( فيه )
n. Rumuz Waqaf ( ه ) = Gambar Hati atau Daun Waru .
Artinya : Lafaz yang dibelakangnya ada tanda Rumuz Waqaf tersebut,
untuk selain al-Kûfiyyûn ( yakni Imâm Tujuh selain ‘Âsim, Hamzah, dan
al-Kisâ'i ) dianggap sebagai akhir ayat; yakni untuk Imâm Nâfi‘, Ibnu
Katsîr, Abû ‘Amr, dan Ibnu ‘Âmir menganggap lafaz yang dibelakangnya
ada Tanda Waqaf ( ه) adalah sebagai akhir ayat. Misalnya pada firman
Allah pada surat al-Fâtihah:...( صراطَ الَّّذين أَنعمت علَيهِم (ه Dengan demikian
ayat ini oleh Imam Nâfi‘ cs dihitung sebagai ayat 6 ( enam) surat al-
Fâtihah - bukan ayat 7 sebagaimana ‘Âsim cs.; sebab menurut mereka
basmalah sebagai ayat pertama.
Catatan:
Waqaf Pada Akhir Ayat
Hukum Waqaf pada akhir setiap ayat adalah sunnah. Ini berdasarkan
hadits Rasulullah SAW riwayat Ummu Salamah RA, bahwa Nabi Muhammad
SAW bila membaca Al-Qur’an- Waqaf pada setiap akir ayat dan Ibtidâ’ lagi pada
lanjutannya. Dengan demikian me-Waqafkan pada setiap akhir ayat adalah
diperbolehkan dengan mutlak tanpa mempertimbangkan makna, dan Ibtidâ’-
nya tidak perlu mengulang dari sebelumnya- akan tetapi pada lafaz lanjutan
sesudahnya/ ayat sesudahnya.
Namun menurut ulama Ahli Waqaf, pengertian hadits tersebut
mempunyai hukum jawaz , yakni boleh Waqaf – boleh tidak; artinya apabila
kalâm/ pembicaraan-nya belum sempurna atau masih mempunyai ta‘alluq
lafdzî (ada kaitan lafaz) dengan lafaz sesudahnya akan lebih baik di-Wasalkan,
seperti banyak terdapat pada ayat-ayat pendek. Dengan demikian apabila
Waqaf pada ayat yang maknanya masih membutuhkan untuk diulangi dalam
Ibtidâ’-nya, tentu lebih baik diulangi- seperti pada 32 . فَوي ٌ ل للْ  مصلِّينَ
Dari keterangan tersebut, diketahuilah bahwa Waqaf diakhir ayat
adalah sebuah kebebasan dan kelonggaran bagi pembaca Al-Qur'an. Sedang
yang tidak diperbolehkan berhenti membaca adalah putus bacaan, yakni
berpaling dari membaca ( .( الْقَطْ  ع
32 Menurut ‘Âtiyyah Qâbil Nasr dalam kitabnya Ghâyatul Murid fi ‘Ilmit Tajwîd , halaman
231, menjelaskan bahwa Waqaf pada akhir ayat semisal  فَويلٌ للْ  مصلِّين kalangan ulama terjadi silang
pendapat.Pendapat pertama : dilarang Waqaf padanya, akan tetapi harus di-Wasalkan. Pendapat
kedua : boleh Waqaf padanya, dan Ibtidâ’ pada awal ayat sesudahnya. Pendapat ketiga : boleh
Waqaf padanya- dan dilarang Ibtidâ’ pada awal ayat sesudahnya, akan tetapi harus mengulang
lagi dari  فَوي ٌ ل للْ  مصلِّين dalam rangka me- Wasalkannya dengan awal ayat berikutnya.
X. MUSYKILÂTUL KALIMÂT
( مشكلاََ  ت اْلكََلمات )
Musykilâtul Kalimât adalah lafaz – lafaz tertentu di dalam Al-Qur’an yang
bacaannya dianggap asing dan sulit oleh para pembaca. Terjadi hal yang
demikian biasanya antara tulisan dan bacaan tidak sama.Tegasnya, apabila
menguasai Ilmu Rasm Utsmany, Qirâat ‘Âsim Riwâyat Hafs menurut Tarîq asy-
Syâtibiyyah, makhârij wa sifâtul hurûf, menguasai Waqaf-Ibtidâ’, dan tatabahasa
Arab pembaca Al-Qur’an tidak akan mengalami kesulitan di dalam membaca
lafaz-lafaz musykilât tersebut.
Demi membantu pembaca Al-Qur’an agar tidak mengalami kesulitan dan
dapat membaca dengan tartîl optimal, dibawah ini urutan daftar Musykilâtul
Kalimât.
NO SURAT AYAT JUZ LAFAZ DIBACA / KETERANGAN
1. al-Baqarah 61 1
   
Terjadi hukum Idghâm Mutaو
mâtsilein bilâ Ghunnah; artinya (Wâw) pertama yang mati
dilebur ke dalam و (Wâw)
kedua, sehingga bacaannya
menjadi seperti و (Wâw) kedua
yang di-Tasydîd; sedang Alif
sesudah Wâw pertama bukan
menjadi Huruf Mad (sebab
sebelumnya tidak berharakat
Fathah), akan tetapi sebagai
Zâidah. Maka dari itu sebagian
Mushaf tercetak dengan ada
tanda baca Bulat Bundar (صفْر 33
مستدير)  di atas Alif. Demikian,
bacaan yang semisalnya di
dalam Al-Qur’an.
2 al-Baqarah 108 1
  Huruf  د (Dâl sukûn) lafaz  قَد
dibaca Qalqalah, dan tidak di –
Idghâmkan ke dalam ض (Dâd).
Demikian, bacaan yang
semisalnya di dalam Al-Qur’an.
33 Apabila sebuah huruf ada tanda baca Bulat Bundar ( صفْر مستدير ) diatasnya, berarti ia
adalah sebagai Ziadah baik Wasal maupun Waqaf. Dengan kata lain, huruf tersebut dianggap
seperti tidak ada. Maka sebagai misal يُأولى - oleh karena diatas Wâw ada tanda Bulat Bundar
diatasnya- akan dibaca يُألى - begitu juga  ُأولئك akan dibaca  ُألئك – baik Wasal maupun Waqaf.
Harap diketahui, sebagian terbitan Mushaf, misalnya Mushaf Standar Indonesia, tanda baca Bulat
Bundar ( صفْر مستدير ) ini hanya dipakai pada huruf Alif Ziadah- misalnya lafaz  وملا ئه surat al-
A‘râf ayat 103- dan lainnya; artinya pada huruf Wâw Ziadah semisal اولئك – tanda baca
tersebut tidak dipakai, apalagi pada huruf Yâ’ Ziadah. Hal demikian tentu tidak sama dengan
Mushaf terbitan Timur Tengah, sebab tanda Bulat Bundar ( صفْر مستدير ) – dibubuhkan diatas
huruf baik Alif/Wâw/Yâ’ Ziadah.
3 al-Baqarah 124 1
 
Apabila Waqaf, ghunnah ن
tetap dibaca dengan tempo 2
harakat sebagaimana ketika
Wasal. Demikian, bacaan ن
ber-Tasydîd dimanapun berada
ketika Waqaf.
4 al-Baqarah 125 1
 
Huruf ذْ (Dzâl sukûn) tidak
Idghâm ke dalam ج (Jîm).
Demikian bacaan ذْ (Dzâl
sukûn) lafaz  ketika
bertemu dengan ج (Jîm),
dimanapun berada dalam Al-
Qur’an.
5 al-Baqarah 126 1

Huruf  ض (Dâd sukûn) tidak di
– Idghâmkan ke dalam ط
(Tâ’). Dengan demikian Sifat
Itbâq dan Istitâlah  ض (Dâd
sukûn) harus tetap
diperhatikan. Demikian,
bacaan yang semisalnya
didalam Al-Qur’an.
6
al-Baqarah 166 2
  Huruf ذْ (Dzâl sukûn) tidak
Idghâm ke dalam ت (Tâ’).
Demikian, bacaan ذْ (Dzâl
sukûn) lafaz  ketika
bertemu dengan ت (Tâ’) di
dalam Al-Qur’an.
7
al-Baqarah 179 2  
و (Wâw) sesudah Hamzah
adalah Ziadah, artinya
adanya seperti tidak ada.
Dengan demikian tidak ada
bacaan panjang (Mad).
Sebagian Mushaf tercetak
dengan ada tanda baca Bulat
Bundar ( صفْر مستدير ) di atas
و (Wâw). Demikian bacaan
ُأولى dan ُأوُلوا dimanapun
berada dalam Al-Qur’an.
8 al-Baqarah 198
&
235
&
237
2 / 
/ 

Huruf  ض (Dâd sukûn) tidak di
Idghâmkan ke dalam ت (Tâ’).
Sifat Itbâq dan Istitâlah  ض (Dâd
sukûn) harus tetap
diperhatikan. Demikian,
bacaan yang semisal-nya di
dalam Al-Qur’an.
9 al-Baqarah 245 2  Huruf ص dibaca س
10 al- Baqarah 256 2  
Huruf  د (Dâl sukûn) lafaz  قَد di-
Idghâmkan ke dalam ت (Tâ’),
artinya seperti ت (Tâ’) yang di
Tasydîd , yakni dibaca اْلإِدغَام
الْكَام ُ ل . Demikian, bacaan yang
semisalnya di dalam Al-Qur’an.
11 al-Baqarah 258 2
    
Ketika me-Wasalkan lafaz أَنا
(Damîr Munfasil Mahal Rafa‘)
dengan lafaz sesu-dahnya, maka
أَنا tidak di-panjangkan sama
sekali, yakni dibaca أَنَ ; akan
tetapi bila Waqaf ada Huruf
Mad Alif yang dibaca 2 harakat,
yakni dibaca أَنا . Sebagian
Mushaf tercetak dengan ada
tanda baca Bulat Lonjong34
صفْر مستطي ٌ ل) ) di atas Alif.
Demikian, bacaan yang
semisalnya di dalam Al-Qur’an.
12 al-Baqarah 259 2  
Huruf ثْ (Tsâ’ sukûn) tidak di-
Idghâmkan ke dalam ت (Tâ’).
Apabila di Waqaf-kan, ثْ (Tsâ’
sukûn) jangan sampai terbaca tse
dan Sifat Hams  ت (Tâ’ sukûn)
harus juga tetap diperhatikan.
Demikian, bacaan yang semisalnya
di dalam Al-Qur’an.
13 Âli ‘Imrân 1-2 3
 - 
Apabila الم di- Wasalkan dengan
لله , huruf Mîm kedua yang
mati pada  ميم menjadi hidup,
demi untuk menghindari
terjadinya peristiwa الْتقَاءُ
34 Apabila sebuah huruf ada tanda baca Bulat Lonjong ( صفْر مستطي ٌ ل ) diatasnya, berarti ia
adalah sebagai Ziadah hanya ketika Wasal. Dengan kata lain, apabila Waqaf huruf tersebut
dianggap ada. Dengan demikian, lafaz أَنا di manapun berada dalam Al Qur'an, baik pada Mushaf
yang tercetak dengan ada tanda Bulat Lonjong- diatas Alif ataupun tidak, ketika di-Wasalkan
dengan lafaz sesudahnya- haruslah dibaca أَنَ (Alif dianggap tidak ada). Namun apabila di-Waqafkan,
Alif tersebut dianggap ada, dan berarti ia dianggap sebagai Huruf Mad yang dibaca panjang 2
harakat – sebab mempunyai hukum Mad Thabi'i .
الساكنينِ (bertemunya 2 huruf
mati); dan khusus tempat ini
huruf awal (Mîm) yang mati
diberi harakat Fathah (bukan
harakat Kasrah sebagaimana
biasanya) - demi menjaga
Tafkhîmnya Lafaz Jalâlah dan
karena ringannya harakat
Fathah (  مراعاة لتفْخيمِ لَفْظ الْجلالَة
ولخفَّة الْفَتحِ ); sedangkan
Hamzah Wasal dan harakatnya
(Fathah) dibuang - sebab
sebelumnya berupa huruf
hidup. Adapun Huruf Mad Yâ’
pada  ميم boleh dibaca 2 wajah
bacaan, yaitu :
a.Panjang 6 harakat,
mengingat asalnya sebagai
Mad Lazim.
b.Panjang 2 harakat,
mengingat kenyataan
sekarang sebagai Mad
Tabî’iy
14 Âli ‘Imrân 18 3
  Apabila Waqaf dibaca بِالْقسطْ
maka jangan sampai  س ( Sîn
sukûn ) terbaca se. Dan Sifat
Qalqalah. طْ ( Tâ’ sukûn )
hendaknya diperhatikan
15 Âli ‘Imrân 69 3
 
Terjadi hukum Idghâm Mutajânisein,
artinya huruf  ت (Tâ’
sukûn) di-Idghâmkan ke dalam ط
(Tâ’), sehingga menjadi seperti ط
(Tâ’) yang di – Tasydîd, yakni
dibaca اْلإِدغَام الْكَام ُ ل . Demikian,
bacaan yang semisalnya di dalam
Al-Qur’an.
16 Âli ‘Imrân 144 3   Alif sesudah ف (Fâ’) pada lafaz
 adalah sebagai Ziadah;
sebagian Mushaf ada yang
tercetak dengan ada tanda baca
Bulat Bundar ( صفْر مستدير ) di
atas Alif; namun ada juga Bulat
Bundar ( صفْر مستدير ) tercetak
di atas di atas ى (Yâ’) –
misalnya Mushaf al-Haramein –
dimana yang dianggap Ziadah
adalah huruf ى (Yâ’), sedangkan
Alif sebelumnya dianggap
sebagai rumah Hamzah.
17 Âli ‘Imrân 183 3
  Huruf  د (Dâl sukûn ) lafaz  قَد
tetap dibaca Qalqalah, sebab
tidak ada peristiwa Idghâm
huruf  د ( Dâl sukûn ) ke
dalam ج (Jîm). Demikian,
bacaan yang semisalnya di
dalam Al-Qur’an.
18 an-Nisâ’ 36-
37
4
    
Ketika lafaz فَ  خورا di- Wasalkan
dengan lafaz  الَّذين , Huruf
Pertama yang mati diberi
harakat Kasrah, demi untuk
menghindari terjadinya peristiwa
 الْتقَاءُ الساكنين (bertemunya
2 huruf mati)- yakni Tanwîn / ن
mati yang tidak ada rasm
bertemu ل (Lâm) yang juga
mati di lain kata. Sebagian
Mushaf tercetak dengan ada
tanda baca "Nûn Kecil "di
bawah Hamzah Wasal. Namun
apabila Ibtida’ dari  الَّذين , maka
Hamzah Wasal diberi harakat
Fathah. Demikian, bacaan yang
semisalnya di dalam Al-Qur’an.
19 an-Nisâ’ 56 4
  
ت (Tâ’ sukûn) tidak di
Idghâmkan ke dalam ج (Jîm).
Tentunya Sifat Hams  ت (Tâ’
sukûn) harus tetap masih
ada. Demikian, bacaan yang
semisalnya di dalam Al-
Qur’an.
20 an-Nisâ’ 64 4  
Terjadi hukum Idghâm Mutajânisein,
artinya huruf ذْ
(Dzâl sukûn) di- Idghâmkan
ke da-lam ظ (Zâ’), sehingga
menjadi seperti ظ (Zâ’) yang
di-Tasydîd, yakni dibaca
اْلإِدغَام الْكَام ُ ل . Demikian,
bacaan yang semisalnya di
dalam Al-Qur’an.
21 an-Nisâ’ 90 4
 
ت (Tâ’ sukûn) dibaca Izhâr,
yakni  ت (Tâ’ sukûn) tidak di-
Idghâmkan ke dalam ص (Sâd)
sesudahnya. Tentunya Sifat
Hams  ت (Tâ’ sukûn) tetap
masih ada. Demikian, bacaan
yang semisalnya di dalam Al-
Qur’an.
22 an-Nisâ’ 158 4   Huruf ل (Lâm sukûn) pada
lafaz بلْ di-Idghâmkan ke
dalam ر (Râ’). Demikian,
bacaan yang semisalnya di
dalam Al-Qur’an.
23 al-Mâidah 8 5
    
Apabila Wasal dibaca أَلاَّتعدُلوا
اعدُلوا ; artinya Huruf Mad
Wâw pada أَلاَّتعدُلوا dibuang
sebab sesudahnya berupa
huruf mati dilain kata;
sedangkan Hamzah Wasal dan
harakatnya (Kasrah) juga
dibuang -sebab sebelum-nya
berupa huruf hidup.
24 al-Mâidah 28 5
 
Terjadi hukum Idghâm Mutajânisein,
di mana Sifat Itbâq
طْ (Tâ’ sukûn) masih ada -
hanya saja Sifat Qalqalahnya
hilang, yakni dibaca اْلإِدغَام
الناق  ص
25 al-Mâidah 61 5   Huraf د (Dâl sukûn) pada lafaz
 di-Idghâmkan ke dalam د
(Dâl) sesudahnya. Demikian,
bacaan yang semisalnya di
dalam Al-Qur’an.
26 al-Mâidah 106 5
 
ر (Râ’ sukûn ) dibaca Tafkhîm,
sebab sebelumnya berupa
huruf yang berharakat Kasrah,
namun harakat Kasrah tersebut
berada di akhir kata
sebelumnya (Kasrah ‘Âridah
Munfasilah)
27 al-Mâidah 110 5
 
ذْ (Dzâl sukûn) dibaca Izhhar,
artinya tidak di-Idghamkan ke
dalam huruf ت (Tâ’)
sesudahnya.
28 al-An‘âm 5 6
   
و (Wâw) pada lafaz أَنب ؤا adalah
sebagai rumah huruf Hamzah,
artinya Waw tersebut dianggap
seperti tidak ada. Oleh
karenanya ketika dibaca Wasal
– huruf Hamzah tidak dibaca
panjang, sebab sesudahnya
tidak ada Huruf Mad Wâw.
Dengan demikian bila Waqaf,
huruf Hamzah disukûn, yakni
dibaca . أََنباءْ
29 al-An‘âm 7 6

ر (Râ’ sukûn) dibaca
Tafkhîm, sebab walaupun
huruf Ra' disukûn dan
sebelumnya berupa Kasrah
Asliyyah namun sesudahnya
berupa Huruf Isti‘lâ’ ط (Tâ’)
yang berharakat Fathah.
30 al-An‘âm 34 6
  
ى (Yâ’) pada lafaz من نبائِ
adalah sebagai rumah huruf
Hamzah, sedang Alif
sebelumnya sebagai Ziadah -
bukan Huruf Mad (sebagian
Mushaf tercetak dengan ada
tanda baca Bulat Bundar atau
صفْر مستدير di atas Alif). Namun
Mushaf al-Haramein – yang
dianggap Ziadah adalah huruf
ى (Yâ’), sedangkan Alif
sebelumnya adalah sebagai
rumah Hamzah (ket: tanda
baca Bulat Bundar atau صفْر
مستدير  terdapat di atas - ى
nya). Namun bagaimanapun,
apakah Alif atau ي-nya yang
dianggap Ziadah, ketika Waqaf
padanya huruf Hamzah di
sukûn - yakni dibaca من نبأْ
31 al-An‘âm 94 6
   
و - (Wâw) di sini adalah
sebagai rumah huruf
Hamzah, artinya Wâw
terse-but dianggap seperti
tidak ada – maka dari itu
ketika Wasal – huruf
hamzah tidak dibaca
panjang, sebab
sesudahnya tidak ada
Huruf Mad Wâw. Dengan
demi-kian bila Waqaf
padanya huruf Hamzah
menjadi disukûn, yakni
dibaca  شركَاءْ
د - (Dâl sukûn ) lafaz  قَد di-
Idghâmkan ke dalam ت
(Tâ’) sesudahnya, yakni
dibaca .اْلإِدغَام الْكَام ُ ل
32 al-An‘âm 99 6

ن mati yang bertemu و
(Wâw) di sini dibaca Izhâr,
sebab tidak terletak di lain
kata - akan tetapi dalam satu
kata. Demikian, bacaan yang
semisalnya di dalam Al-
Qur’an.
33 al-An‘âm 143
+
144
6
 
Hamzah Wasal yang terletak
antara Hamzah Istifhâm dan
Lâm Ta‘rîf mati pada lafaz
ءَالذَّكَرينِ , mempunyai 2 wajah
bacaan, yaitu:
a. Hamzah Wasal di-Ibdâlkan
dengan Huruf Mad Alif
serta mengisybâ‘kannya
sepan-jang 6 harakat
(sebab sebagai Mad
Lâzim); dan wajah bacaan
ini lebih utama.
b. Hamzah Wasal dibaca
Tashîl Baina-Baina35 serta
tidak dipanjangkan sama
sekali.
34 al-A‘râf 57 7
أَقَلَّت سحابا
ت (Tâ’ sukûn) dibaca Izhâr,
artinya  ت tidak di-Idghâmkan
ke dalam huruf sesudahnya
س (Sîn); dan tentunya Sifat
Hams  ت (Tâ’ sukûn) harus
tetap diperhatikan .
35 al-A‘râf 69 7
  Dibaca بسطَةً , yakni ص
dibaca . س
36 al-A‘râf 103 7

ى (Yâ’) pada lafaz  وملا ئه
adalah sebagai rumah huruf
Hamzah, sedang Alif sebe-
35 Arti Tashîl Hamzah Baina-Baina adalah bunyi antara Hamzah dengan Alif. Agar bacaan Tashîl
Hamzah di tempat ini benar dan tepat haruslah seorang murid ber-musyafahah dengan guru ahli.
lumnya sebagai Ziadah –
bukan Huruf Mad (sebagian
Mushaf tercetak dengan ada
tanda baca Bulat Bundar atau
صفْر مستدير diatas Alif). Namun
Mushaf al-Haramein – yang di
anggap Ziadah adalah huruf
ى -nya, sedangkan Alif
sebelumnya adalah sebagai
rumah Hamzah (ket: tanda
baca Bulat Bundar atau صفْر
مستدير  dibubuhkan di atas ى
(Yâ’).
37 al-A‘râf 145 7

و (Wâw) sesudah huruf
Hamzah adalah Ziadah;
sebagian Mushaf tercetak
dengan ada tanda baca Bulat
Bundar atau صفْر مستدير di
atas Wâw. Berarti ia dibaca
seperti tidak ada Waw - baik
ketika Wasal maupun Waqaf,
yakni  .سُأرِي ُ كم
38 al-A‘râf 158 7
 
Ketika lafaz  di-
Wasalkan dengan lafaz ,
Huruf Pertama yang mati
diberi harakat Kasrah, demi
untuk menghindari terjadinya
peris-tiwa bertemunya 2
huruf mati- (  ( الْتقَاءُ الساكنين
yakni Tanwîn/ ن mati yang
tidak ada rasm bertemu ل
(Lâm) yang juga mati di lain
kata. Sebagian Mushaf
tercetak dengan ada tanda
baca "Nun Kecil" di bawah
Hamzah wasal. Namun
apabila Ibtida’ dari ,
maka Hamzah Wasal diberi
harakat Fathah. Demikian,
bacaan yang semisalnya di
dalam Al-Qur’an.
39 al-A‘râf 176 7
  
ثْ (Tsâ’ sukûn) di-Idghâmkan
ke dalam ذ (Dzâl), sebab
terjadi hukum Idghâm
Mutajânisein -yakni dibaca
اْلإِدغَام الْكَام ُ ل
40 al-A‘râf 189 7
  
ت (Tâ’ sukûn) di Idghâmkan ke
dalam د, sebab terjadi hukum
Idghâm Mutajânisein yakni
dibaca اْلإِدغَام الْكَام ُ ل . Demikian,
bacaan yang semisalnya di
dalam Al-Qur’an.
41 Akhir al-
Anfâl dan
awal at-
Taubah
75-1 8
  
Diperbolehkan memakai 3
(tiga) wajah bacaan berikut :
1. Saktah antara dua surat
(akhir surat al-Anfâl
dengan awal surat at-
Taubah).
2. Wasal antara akhir surat
al-Anfâl dengan awal
surat at-Taubah (ket:
ketika memakai wajah
bacaan ini terjadi
hukum Iqlâb sebab
Tanwîn bertemu dengan

3. Waqaf diakhir surat al-
Anfâl kemudian
melanjut-kan bacaan
(Ibtidâ’) pada awal at-
Taubah.
42 at-Taubah 1 9
  
Huruf د (Dâl sukûn) di-
Idghâmkan ke dalam ت (Tâ’),
sebab terjadi hukum Idghâm
Mutajânisein - yakni dibaca
اْلإِدغَام الْكَام ُ ل . Demikian, bacaan
yang semi-salnya di dalam Al-
Qur’an.
43 at-Taubah 43 9
  
Apabila Waqaf dibaca  .عنك
Harap diperhatikan, bahwa
hukum Ikhfâ’ ن mati yang
bertemu ك harus tetap
diperhatikan, yakni bunyi ن
mati disamarkan menuju
makhrajnya huruf ك (Kâf
sukûn) sesudahnya – disertai
tempo dengung (ghunnah) 2
harakat. Jangan pula lalai pada
Sifat Hams  ك (kâf sukûn).
44 at-Taubah 100 9
  
Khusus ditempat ini tidak
dibaca تحتها , akan tetapi
dibaca تحتها , yakni ت (Tâ’)
kedua berharakat Fathah.
45 at-Taubah 107 9   ر (Râ’ sukûn) dibaca Tafkhîm;
walaupun sebelumnya
berupa Kasrah Asliyyah dalam
satu kata, namun sesudahnya
berupa Huruf Isti‘lâ’.
46 at-Taubah 122 9
  ر (Râ’ sukûn) dibaca Tafkhîm,
sebab sesudahnya berupa
Huruf Isti‘lâ’.
47 Yûnus 15 10
   
ى pada lafaz من تلْقَائِ
adalah sebagai rumah huruf
Hamzah. Oleh karenanya,
huruf Hamzah tidak dibaca
panjang, sebab sesudahnya
tidak terdapat Huruf Mad Yâ’.
Dengan demikian bila Waqaf
padanya huruf Hamzah
menjadi di sukûn, yakni
dibaca من تلْقَاءْ
48
Yûnus 51
+
91
10 
Hamzah Wasal yang terletak
antara Hamzah Istifhâm dan
Lâm Ta‘rîf mati, mempunyai 2
wajah bacaan, yaitu :
a. Hamzah Wasal di-Ibdalkan
dengan Huruf Mad Alif
serta meng-Isybâ‘kannya
sepan-jang 6 harakat
(sebab sebagai Mad
Lâzim); dan wajah bacaan
ini lebih utama.
b. Hamzah Wasal dibaca
Tashîl Baina-Baina36 serta
tidak dipanjangkan sama
sekali.
36 Arti Tashîl Hamzah Baina-Baina adalah bunyi antara Hamzah dengan Alif. Agar bacaan Tashîl
Hamzah di tempat ini benar dan tepat haruslah seorang murid ber-musyafahah dengan guru ahli.
49 Yûnus 59 10
    
Hamzah Wasal yang terletak
antara Hamzah Istifhâm dan
Lâm Ta‘rîf mati pada lafaz 
, mempunyai 2 wajah bacaan,
yaitu:
a.Hamzah Wasal di-Ibdâlkan
dengan Huruf Mad Alif
serta meng-Isybâ‘ kannya
sepanjang 6 harakat (sebab
sebagai Mad Lâzim); dan
wajah bacaan ini lebih
utama.
b. Hamzah Wasal dibaca
Tashîl Baina-Baina37 serta
tidak dipanjangkan sama
sekali.
50 Yûnus 75 10

ى (Yâ’) pada lafaz  وملا ئه
adalah sebagai rumah huruf
Hamzah, sedang Alif
sebelumnya sebagai Ziadah
bukan Huruf Mad (sebagian
Mushaf tercetak dengan ada
tanda baca Bulat Bundar atau
صفْر مستدير di atas Alif). Namun
dalam Mushaf al-Haramein
yang dianggap Ziadah adalah
huruf ى-nya, sedangkan Alif
37 Arti Tashîl Hamzah Baina-Baina adalah bunyi antara Hamzah dengan Alif. Agar bacaan Tashîl
Hamzah di tempat ini benar dan tepat haruslah seorang murid ber-musyafahah dengan guru ahli.
sebelumnya adalah sebagai
rumah Hamzah (ket: tanda
baca Bulat Bundar atau صفْر
مستدير  terdapat di atas .(ى
51 Hûd 41 11
   
Alif yang terletak sesudah
Râ’-nya مجريها dibaca Imâlah
Kubrâ.
52 Hûd 42 11
  
Huruf  ب (Bâ’sukûn) lafaz
اركَب di- Idghâmkan ke dalam
م sesudahnya, artinya seperti
م yang di – Tasydîd, yakni
dibaca اْلإِدغَام الْكَام ُ ل - sebab
mempunyai hukum Idghâm
Mutajânisein.
53 Hûd 66 11
 

Huruf Mim pada lafaz  يومئذ
berharakat Kasrah- bukan
Fathah.
54 Hûd 68 11 










دا pada lafaz tidak
dibaca panjang (Mad), sebab
Alif di sini adalah sebagai
Zâidah – bukan Huruf Mad (
ket: di dalam Al-Qur’an
biasanya di atas Alif
dibubuhkan tanda baca
Bulat Bundar ( .( صفْر مستدير
Maka bacaan lafaz tersebut
ketika Waqaf- menjadi  . ثَ  مود
55 Hûd 87 12
   
و (Wâw) di sini adalah
sebagai rumah Huruf
Hamzah, artinya Wâw
tersebut dianggap seperti
tidak ada – maka dari itu
ketika Wasal – huruf Hamzah
tidak dibaca panjang, sebab
sesudahnya tidak ada Huruf
Mad Wâw. Dengan demikian
bila Waqaf padanya huruf
Hamzah menjadi disukûn,
yakni dibaca . مانشاءْ
56 Hûd 88 12
  
 

Apabila Waqaf pada
مااستطَعت ; maka  ع (‘Ain
sukûn) jangan sampai terbaca
‘e - dan Sifat Hams  ت (Tâ’
sukûn) harus tetap
diperhatikan.
57 Hûd 91 12    ه(Hâ’) pada lafaz نفْقَه
bukanlah Hâ’ Damîr. Maka
dari itu, tidak ada bacaan
panjang (Mad) padanya,
sebab sesu-dahnya tidak ada
Huruf Mad Wâw.
58 Hûd 95 ت بعدت ثَ  مود 12 (Tâ’ sukûn) dibaca Izhâr ;
artinya  ت (Tâ’ sukûn) tidak
di-Idghâmkan ke dalam huruf
sesudahnya ث (Tsâ’) - yang
dengan demikian Sifat Hams
ت (Tâ’ sukûn) harus tetap
diperhatikan .
59 Hûd 97 12  ى (Yâ’) pada lafaz  وملا ئه
adalah sebagai rumah Huruf
Hamzah, sedang Alif
sebelum-nya sebagai Ziadah –
bukan Huruf Mad (sebagian
Mushaf tercetak dengan ada
tanda baca Bulat Bundar atau
صفْر مستدير di atas Alif).
Namun Mushaf al-Haramein–
yang dianggap Ziadah adalah
huruf ى (Yâ’) - nya,
sedangkan Alif sebelumnya
adalah sebagai rumah
Hamzah ( ket: tanda baca
Bulat Bundar atau صفْر مستدير
terdapat di atas .(ى
60 Yûsuf 8+9 12
   
Ketika akhir ayat مبِينٍ ) 8  ) dan
awal ayat اقْتُلوا ) 9 ) di-
Wasalkan, Huruf Pertama
yang mati diberi harakat
Kasrah, demi untuk
menghindari terjadinya
peristiwa  الْتقَاءُ الساكنين
(bertemunya 2 huruf mati -
yakni Tanwîn/ ن mati yang
tidak ada rasm bertemu ق
mati) di lain kata. Sedangkan
Hamzah Wasal dan
harakatnya (Dammah)
dibuang – sebab sebelumnya
berupa huruf hidup.
Sebagian Mushaf tercetak
dengan ada tanda baca "Nûn
Kecil" di bawah Hamzah
Wasal. Namun apabila Ibtida’
dari اقْتُلوا , maka Hamzah
Wasal diberi harakat
Dammah.
61 Yûsuf 11 12   Dibaca Isymâm ( 38 ( الإِشمام ,
yaitu ketika Nûn ( ن ) ber-
Tasydîd dibaca dengung
(ghunnah) dengan tempo 2
harakat – diperkirakan ketika
sepertiga dengung bagian awal
telah terbaca, serta merta
kedua bibir dimajukan lalu
ditarik kembali seperti semula
(ket: posisi kedua bibir seperti
semula ini diperkirakan masih
dalam keadaan dengung pada
sepertiga bagian akhir). Sebagian
Mushaf tercetak dengan
ada tulisan إشمام kecil di
bawahnya; namun sebagian
yang lain memakai tanda
khusus bacaan Isymâm.
38 Agar tepat mempraktekkan bacaan Isymâm hendaknya seorang murid bermusyafahah
dengan guru ahli. Sebetulnya lafaz ini mempunyai satu wajah bacaan lagi,
yaitu: Ikhlitas ( ألإِختلاَ  س ) ; Dimana cara membacanya adalah “ ن" pada lafaz dibaca dengan
suara kurang lebih 2/3-nya
62 Yûsuf 80 13  Pada lafaz ini terjadi hukum
Idghâm Mutajânisein, yakni طْ
(Tâ’ sukûn) di-Idghamkan ke
dalam ت (Tâ’), namun Sifat
Itbâq طْ (Tâ’ sukûn) harus tetap
masih ada – hanya saja Sifat
Qalqalahnya hilang. Dengan
demikian, termasuk kriteria
. اْلإِدغَام الناق  ص
63 Yûsuf 81 ر ارجِعوا 13 (Râ’ sukûn) dibaca Tafkhîm,
sebab sebelumnya berupa
Kasrah ‘Âridah (tidak asli ).
64 Yûsuf 85 13
  
و (Wâw) pada lafaz تفْت ؤا
adalah sebagai rumah huruf
Hamzah, artinya Wâw tersebut
dianggap seperti tidak ada –
maka dari itu ketika Wasal –
Hamzah tidak dibaca panjang,
sebab sesu-dahnya tidak ada
Huruf Mad. Dengan demikian
bila Waqaf padanya huruf
Hamzah menjadi disukûn, yakni
dibaca . تفْتأْ
65 al-Ra‘d 4 ن صنوا ٌ ن 13 mati yang bertemu و (Wâw)
di sini dibaca Izhâr, sebab tidak
terletak di lain kata akan tetapi
dalam satu kata.
66 al-Ra‘d 30 13
  
ا ( Alif ) sesudah Wâw sebagai
huruf Ziadah, yakni bukan
sebagai Huruf Mad – maka dari
itu tidak ada bacaan panjang di
sana. Sebagian Mushaf tercetak
dengan ada tanda baca Bulat
Bundar ( صفْر مستدير ) di atas
Alif. Dengan demikian, bila
Waqaf padanya akan dibaca  لتُلو
67 Ibrâhîm 1-2 13
  لا   
Lafaz اللهُ di sini ber-I‘râb Jar,
yakni dibaca . اللهِ
68 Ibrâhîm 21 13
  
و (Wâw) pada lafaz  ضعف  ؤا
adalah sebagai rumah huruf
Hamzah, artinya Wâw tersebut
dianggap seperti tidak ada –
maka dari itu ketika Wasal –
Hamzah tidak dibaca panjang,
sebab sesudahnya tidak ada
Huruf Mad. Dengan demikian
bila Waqaf padanya huruf
Hamzah menjadi disukûn,
yakni dibaca . الضعفَاءْ
69 Al-Isra’ 5 17  و (Wâw) pada lafaz 
bertanda baca sukûn- dan
oleh karena sebelumnya
berupa huruf berharakat
Dammah, maka ia berstatus
sebagai Huruf Mad Wâw.
Tentunya ia dibaca panjang 2
harakat, sebab mempunyai
hukum Mad Tabî‘iy.39
70 Al-Isra’ 24 17   لْ (Lâm sukûn) pada lafaz ُقلْ
diIdghâmkan ke dalam ر
sesudahnya, sebab terjadi
hukum Idghâm Mutajânisein
- yakni dibaca اْلإِدغَام الْكَام ُ ل
71 Al-Isra’ 24 17
 
ر) Râ’ sukûn) dibaca Tafkhîm,
sebab walaupun sebelumnya
berupa huruf yang
berharakat Kasrah, namun
harakat Kasrah tersebut
berada di akhir kata
sebelumnya (Kasrah ‘Âridah
Mun-fasilah).
39 Mushaf cetakan Timur Tengah di atas Wâw tidak ada tanda sukûn, sedangkan Mushaf Standar
Indonesia ada tanda sukûn di atasnya
72 al-Kahfi 14 18
   
Alif yang terletak sesudah
Wâw pada lafaz 
adalah bukan Huruf Mad,
akan tetapi sebagai huruf
Zâidah. Maka dari itu tidak
ada bacaan panjang (Mad)
disana. Sebagian Mushaf
tercetak dengan ada tanda
baca Bulat Bundar ( صفْر
مستدير ) di atas Alif. Dengan
demikian apabila Waqaf pada
lafaz  akan dibaca
menjadi  . لَن ند  عو
73 al-Kahfi 23 18  Alif sesudah ش (Syîn) adalah
bukan Huruf Mad, akan
tetapi sebagai huruf Zâidah.
Maka dari itu tidak ada
bacaan panjang (Mad) disana,
yakni dibaca لشيء . Sebagian
Mushaf tercetak dengan ada
tanda baca Bulat Bundar ( صفْر
مستدير ) di atas Alif .
74 al-Kahfi 38 18
   
Ketika Wasal, ناَ pada lafaz لكنا
tidak dipanjangkan sama sekali,
yakni dibaca  لكن ; akan tetapi
apabila Waqaf padanya, disana
ada Huruf Mad Alif yang dibaca
2 harakat, yakni dibaca لكنا . Oleh
karenanya sebagian Mushaf
tercetak dengan ada tanda baca
Bulat Lonjong ( صفْر مستطي ٌ ل ) di
atas Alif .
75 al-Kahfi 63 18  
 
Hâ’ Damîr ( ه ) dibaca Dammah,
bukan Kasrah .
76 Tâhâ 18 20
 
و (Wâw) pada lafaz أَتوكَ ؤا
adalah sebagai rumah huruf
Hamzah, artinya Wâw tersebut
dianggap se-perti tidak ada –
maka dari itu ketika Wasal –
huruf Hamzah tidak dibaca
panjang, sebab sesudahnya
tidak ada Huruf Mad. Dengan
demikian bila Waqaf padanya
huruf Hamzah menjadi disukûn ,
yakni dibaca . أَتوكَّأْ
77 Tâhâ 76 20
  
Bila lafaz جزآء tertulis ,جز  ؤا
Wâw padanya adalah sebagai
rumah huruf Hamzah, artinya
Wâw tersebut dianggap seperti
tidak ada – maka dari itu ketika
Wasal – huruf Hamzah tidak
dibaca panjang, sebab
sesudahnya tidak ada Huruf
Mad. Dengan demikian bila
Waqaf padanya Huruf Hamzah
menjadi disukûn, yakni dibaca
جزاءْ
78 Tâhâ 119 20
  
و (Wâw) pada lafaz لاَتظْم ؤا
adalah sebagai rumah huruf
Hamzah, artinya Wâw tersebut
dianggap seperti tidak ada –
maka dari itu ketika Wasal –
huruf Hamzah tidak dibaca
panjang, sebab sesudahnya
tidak ada Huruf Mad. Dengan
demikian bila Waqaf padanya
huruf Hamzah menjadi disukûn,
yakni dibaca . لاَتظْمأْ
79 al- Anbiyâ’ 28 21
 
ر (Râ’ sukûn) dibaca Tafkhim,
sebab walaupun sebelumnya
berupa harakat Kasrah, namun
harakat Kasrah tersebut berada
diakhir kata sebelumnya (Kasrah
‘Âridah Munfasilah).
80 al- Anbiyâ’ 37 21  و (Wâw) sesudah Hamzah
adalah Ziâdah; sebagian Mushaf
tercetak dengan ada tanda baca
Bundar Bulat atau صفْر مستدير
di atasnya. Berarti bacaanya
seperti tidak ada Wâw baik
Wasal maupun Waqaf, yakni
dibaca  .سُأرِي ُ كم
81 al- Mukminûn 44 18     را tidak berharakat Fathah
Tanwîn, akan tetapi berharakat
Fathah saja. Dengan
demikian ia mempunyai
hukum Mad Tabî‘îy dan
tentunya dibaca panjang 2
harakat, baik Waqaf maupun
Wasal .
82 al- Mukminûn 99 18    ر (Râ’ sukûn) dibaca Tafkhîm,
sebab walaupun sebelumnya
berupa huruf yang
berharakat Kasrah, namun
harakat Kasrah tersebut
berada diakhir kata
sebelumnya (Kasrah ‘Âridah
Munfasilah).
83 an-Nûr 8 24
  
و (Wâw) pada lafaz ويدر ؤا
adalah sebagai rumah huruf
Hamzah, artinya Wâw tersebut
dianggap seperti tidak ada –
maka dari itu ketika Wasal –
huruf Hamzah tidak dibaca
panjang, sebab sesudahnya
tidak ada Huruf Mad. Dengan
demikian bila Waqaf padanya
huruf Hamzah menjadi disukûn,
yakni dibaca . ويدرءْْ
84 an-Nûr 50 24
   ر (Râ’ sukûn) dibaca Tafkhîm,
sebab walaupun sebelumnya
berupa harakat Kasrah, namun
harakat kasrah tersebut berada
di akhir kata sebelumnya
(Kasrah ‘Âridah Munfasilah)
85 al-Furqân 38 25
 
 
دا pada lafaz  tidak
dibaca panjang (Mad), sebab
Alif disini adalah sebagai
Zaidah –bukan Huruf Mad (ket:
di dalam Al-Qur’an biasanya
di atas Alif dibubuhkan tanda
baca Bulat Bundar ( صفْر
مستدير )  Maka bacaan lafaz
tersebut apabila Waqaf
menjadi  وثَ  مود
86 al-Furqân 49 25
 
Alif pada lafaz  وأَناسي adalah
sebagai Huruf Mad, dan dibaca
panjang 2 harakat sebab
mempunyai hukum Mad Tabî‘iy.
Dengan kata lain أَنا di sini bukan
sebagai Damîr Munfasil; maka
dari itu di atas Alifnya tidak ada
Mushaf yang tercetak dengan
pembubuhan tanda baca Bulat
lonjong ( . ( صفْرمستطي ٌ ل
87 al-Furqân 69 25   ه ( Hâ’ Damîr / Hâ’ Kinâyah )
pada ayat 69 ini dibaca Silah/
Mad, artinya sesudahnya
terdapat Huruf Mad Yâ’ yang
dibaca panjang 2 harakat. Walaupun
sebelum Hâ’ Damîr
berupa huruf mati dan
sesudahnya berupa huruf
hidup ; dan apabila Waqaf Hâ’
Damîr dibaca sukûn, yakni  فيه
88 al-Furqân 77 25
   
و (Wâw) pada يعب  ؤا adalah
sebagai rumah huruf Hamzah,
artinya Wâw tersebut
dianggap seperti tidak ada –
maka dari itu ketika Washal –
Hamzah tidak dibaca panjang,
sebab sesudahnya tidak ada
Huruf Mad. Dengan
demikian bila Waqaf padanya
Huruf Hamzah menjadi
disukûn, yakni dibaca . يعبأْ
89 asy-
Syu ‘arâ’
6 26
   
و (Wâw) pada lafaz 
adalah sebagai rumah huruf
Hamzah, artinya Wâw
tersebut dianggap seperti
tidak ada – maka dari itu
ketika Wasal – Hamzah tidak
dibaca panjang, sebab
sesudahnya tidak ada Huruf
Mad. Dengan demikian bila
Waqaf padanya huruf
Hamzah menjadi disukûn,
yakni dibaca . أَنباءْ
90 asy-
Syu ‘arâ’
63 26
 Disebabkan sebelum Râ’ sukûn
berharakat Kasrah Asliyyah
dalam satu kata -namun
sesudahnya berupa Huruf Isti‘lâ’
yang berharakat Kasrah, maka ر
(Râ’ sukûn) mempunyai 2 wajah
bacaan, yaitu: a. Tarqîq, b.
Tafkhîm.
91 asy-
Syu ‘arâ’
141 26
  Huruf  ت (Tâ’ sukûn) tidak
diIdghâmkan ke dalam ث
(Tsâ’) sesudahnya, tentunya
Sifat Hams  ت (Tsâ’) tetap
diperhatikan .
92 asy-
Syu ‘arâ’
197 26
  
و (Wâw) pada lafaz  علَم ؤا
adalah sebagai rumah huruf
Hamzah, artinya Wâw tersebut
dianggap seperti tidak
ada – maka dari itu ketika
Wasal – Hamzah tidak dibaca
panjang, sebab sesudahnya
tidak ada Huruf Mad.
Dengan demikian bila Waqaf
padanya huruf Hamzah
menjadi disukûn, yakni
dibaca .  علَماءْ
93 An Naml 21 27  

Alif pada lafaz  adalah
sebagai Huruf Zâidah; dengan
demikian dibaca. .لأَذْ بحنه
Sebagian Mushaf tercetak
dengan ada tanda baca Bulat
Bundar atau صفْر مستدير di
atas Alif .
94 an-Naml 29,
32,
38
27   و (Wâw) pada lafaz اْلمَلَ ؤا
adalah sebagai rumah huruf
Hamzah, artinya Wâw
tersebut diang-gap seperti
tidak ada – maka dari itu
ketika Wasal Hamzah tidak
dibaca panjang, sebab
sesudahnya tidak ada Huruf
Mad. Dengan demikian bila
Waqaf padanya huruf
Hamzah menjadi disukûn,
yakni dibaca . اْلمَلأْ
95 an-Naml 37 27
 
ر - (Râ’ sukûn) dibaca Tafkhîm,
sebab sebelum Râ’ mati
berupa Kasrah ‘Âridah (tidak
asli).
- Sedangkan  ع (‘Ain sukûn)
dibaca Izhâr, artinya pembaca
Al-Qur'an harus hati - hati
ketika mengucapkan ع sukûn
yang hampir mirip dengan
sifat dan makhraj Hamzah
sesudahnya.
96 an-Naml 59 27
   
Hamzah Wasal yang terletak di
antara Hamzah Istifhâm dan
Lâm Ta‘rîf mati pada lafaz ,
mempunyai 2 wajah bacaan,
yaitu :
 Hamzah Wasal di-Ibdâlkan
dengan Huruf Mad Alif
serta meng Isybâ’kannya
sepanjang 6 harakat (sebab
sebagai Mad Lâzim); dan
wajah bacaan ini lebih
utama.
 Hamzah Wasal dibaca Tashil
Baina - Baina40 serta
tidak dipanjangkan sama
sekali.
40 Arti Tashîl Hamzah Baina-Baina adalah bunyi antara Hamzah berharakat Fathah dengan Alif.
Agar tepat bacaan Tashîl Hamzah disini haruslah seorang murid ber-musyafahah dengan guru
ahli.
97 al-
‘Ankabût
38 29
    
 دا pada lafaz  tidak
dibaca panjang (Mad), sebab
Alif di sini adalah sebagai
Zaidah – bukan Huruf Mad
(ket: di dalam Al-Qur'an
biasanya di atas Alif
dibubuhkan tanda baca Bulat
Bundar(ٌ صفْر مستدير ) . Maka
bacaan lafaz tersebut apabila
Waqaf menjadi  .وثَ  مود
 Huruf  د (Dâl sukûn) lafaz  قَد di-
Idghâmkan ke dalam ت (Tâ’)
sesudahnya, artinya seperti
ت (Tâ’) yang di-Tasydîd, yakni
dibaca اْلإِدغَام الْكَام ُ ل – sebab
mempunyai hukum Idghâm
Mutajânisein.
98 ar-Rûm 8 30
 
ى (Yâ’) pada lafaz 
adalah sebagai rumah huruf
Hamzah, artinya Yâ’ tersebut
dianggap seperti tidak ada –
maka dari itu ketika Wasal –
Hamzah tidak dibaca panjang,
sebab sesudahnya tidak ada
Huruf Mad. Dengan demikian
bila Waqaf padanya huruf
Hamzah menjadi disukûn,
yakni dibaca . بِلقَاءْ
99 Ar Rum 13 30
 
و (Wâw) pada lafaz 
adalah sebagai rumah huruf
Hamzah, artinya Wâw
tersebut dianggap seperti
tidak ada – maka dari itu
ketika Wasal – Hamzah tidak
dibaca panjang, sebab
sesudahnya tidak ada Huruf
Mad. Dengan demikian bila
Waqaf padanya huruf
Hamzah menjadi disukûn,
yakni dibaca .  شفَعآءْ
100 ar-Rûm 22 30  Huruf Lâm ( ل ) sesudah ‘Ain
ع) ) pada khusus lafaz ini
bukan di-Fathah, akan tetapi
di-Kasrah ( yakni  - للْعلمين
bukan  .( للْعلَمين
101 ar-Rûm 39 30
   
ر (Râ’ sukûn) pada lafaz ليربوا
adalah dibaca Tafkhîm
mengingat sebelumnya berharakat
Fathah; sedangkan
Alif yang terletak sesudah
Wâw pada lafaz adalah
bukan Huruf Mad, akan
tetapi sebagai huruf Zâidah.
Maka dari itu tidak ada
bacaan panjang (Mad) disana.
Sebagian Mushaf tercetak
dengan ada tanda baca Bulat
Bundar ( صفْر مستدير ) di atas
Alif. Dengan demikian bila
Waqaf padanya huruf
Hamzah menjadi disukûn,
yakni dibaca  ليربو
102 ar-Rûm 54 30
ضعف - ضعف - ضعفًا
Fathah ض (Dâd) ketiga lafaz ini
mempunyai satu wajah bacaan
lagi, yaitu Dammah ض (Dâd).
Dengan demikian bacaannya
menjadi  .  ضعف -  ضعفًا -  ضعف
Artinya huruf ض (Dâd) di ayat
dan Surah ini mempunyai 2
wajah bacaan.
103 al-Ahzâb 10 33
   
Apabila lafaz الظُّنونا di-Wasalkan
dengan lafaz sesudahnya, Alif
pada نا tidak dipanjangkan sama
sekali atau dibuang, yakni dibaca
الظُّنونَ ; akan tetapi bila Waqaf -
Huruf Mad Alif dianggap ada
dan dibaca dengan 2 harakat,
yakni الظُّنونا . Sebagian Mus haf
tercetak dengan ada tanda baca
Bulat Lonjong ( صفْر مستطي ٌ ل ) di
atas Alif
104 al-Ahzâb 66 33
   
Apabila lafaz الر  سولاَ di-Wasalkan
dengan lafaz sesudahnya, Alif
pada لاَ tidak dipanjangkan sama
sekali atau dibuang, yakni
dibaca الر  سولَ ; akan tetapi bila
Waqaf - Huruf Mad Alif
dianggap ada dan dibaca
dengan 2 harakat, yakni الر  سولاَ
Sebagian Mushaf tercetak
dengan ada tanda baca Bulat
Lonjong ( صفْر مستطي ٌ ل ) di atas Alif
105 al-Ahzâb 67 33
  
Apabila lafaz السبِيلاَ di-
Wasalkan dengan lafaz sesudahnya,
Alif pada لاَ tidak
dipanjangkan sama sekali /
dibuang, yakni dibaca ;السبِيلَ
akan tetapi bila Waqaf -
Huruf Mad Alif dianggap ada
dan dibaca dengan 2 harakat,
yakni السبِيلاَ . Sebagian
Mushaf tercetak dengan
ada tanda baca Bulat
Lonjong ( صفْر مستطي ٌ ل ) di atas
Alif .
106 Saba’ 12 34
عين الْقطْرِ
Apabila Waqaf pada lafaz , الْقطْرِ
maka  ر (Râ’ sukûn) dapat
dibaca dengan 2 wajah -
mengingat antara Râ’ sukûn
yang tidak asli dan Kasrah
sebelumnya dipisah oleh Huruf
Isti‘lâ’ sukûn, yaitu : Tarqîq dan
Tafkhîm;
107 Fâtir 28 35
     
و (Wâw) pada lafaz 
adalah sebagai rumah huruf
Hamzah, artinya Wâw
tersebut dianggap seperti
tidak ada – maka dari itu
ketika Wasal – Hamzah tidak
dibaca panjang, sebab
sesudahnya tidak ada Huruf
Mad. Dengan demikian bila
Waqaf padanya huruf
Hamzah menjadi disukûn,
yakni dibaca . اْلعلَماءْ
108 Yâsîn 26 36
قَومي يعلَ  مونَ
ي (Yâ’ sukûn) pada  قَومي tidak
di- Idghâmkan ke dalam ى
(Yâ’) sesudahnya, sebab ى
(Yâ’) pertama sebagai Huruf
Mad .
109 az-Zumar 7 39
   
ه ( Hâ’ Damîr ) lafaz ,يرضه
walaupun sebelum dan
sesudahnya berupa huruf
hidup, tidak dibaca dengan
Silah Hâ’ Damîr, akan tetapi
dibaca Tanpa Silah Hâ’ Damîr,
artinya tidak dipanjangkan
sama sekali sebab tidak
terdapat Huruf Mad padanya
110 az-Zumar 69 39  Dibaca وجِيءَ , yakni Alif
sesudah ج (Jîm) adalah
Ziadah, artinya adanya
seperti tidak ada. Sebagian
Mus haf tercetak dengan ada
tanda baca Bulat Bundar
صفْر مستدير) ) di atas Alif.
111 al-Mukmin/
Ghâfir
41 40   Dibaca  إِلَى النجاة yakni hakekat و
(Wâw) sesudah ج (Jîm) adalah
Alif (ket: demikian menurut
disiplin ilmu Rasm Utsmani)41.
112 Fussilat/ as -
Sajdah
29 41   ذ (Dzâl) lafaz الَّذَينِ adalah
berharakat Fathah dan ن di
Kasrah, yakni bukan  الَّذين
sebagaimana biasanya.
41 Perhatikan cara membacanya lafaz yang semisal ة- لصلوة - لربوا  dll.
113 Fussilat/ as -
Sajdah
44 41
 
Hamzah kedua ( ء) dibaca
Tashîl Baina-Baina42, yakni
bunyi antara Hamzah yang
berharakat Fathah dengan
Alif ( ket: agar tepat cara
membacanya, hendaknya
dimusyafahahkan dengan ahli
Al-Qur'an). Sebagian Mus haf
tercetak dengan ada tanda
baca tulisan تسهيل di bawah
Hamzah kedua: namun
sebagian yang lain tercetak
dengan ada tanda baca Bulat
Bundar di tengahnya tidak
berlobang (.) di atas Hamzah
kedua.
114 asy-Syûrâ 11 42
 
و (Wâw) pada  يذْر  ؤ ُ كم adalah
sebagai rumah huruf Hamzah,
artinya Wâw tersebut
dianggap seperti tidak ada –
maka dari itu ketika Wasal –
Hamzah tidak dibaca panjang,
sebab sesudahnya tidak
ada Huruf Mad.
42Agar bacaan Tashîl Hamzah di tempat ini benar dan tepat haruslah seorang murid bermusyafahah
dengan guru ahli.
115 asy-Syûrâ 21 42
 
و (Wâw) pada شرك  ؤا  adalah
sebagai rumah huruf Hamzah,
artinya Wâw tersebut
dianggap seperti tidak ada –
maka dari itu ketika Wasal –
Hamzah tidak dibaca panjang,
sebab sesudahnya tidak ada
Huruf Mad. Dengan
demikian bila Waqaf padanya
huruf Hamzah menjadi
disukûn, yakni dibaca .  شركَاءْ
116 asy-Syûrâ 40 42
  
و (Wâw) pada وجز  ؤا adalah
sebagai rumah huruf Hamzah,
artinya Wâw tersebut dianggap
seperti tidak ada –
maka dari itu ketika Wasal –
Hamzah tidak dibaca panjang,
sebab sesudahnya tidak ada
Huruf Mad. Dengan demikian
bila Waqaf padanya
huruf Hamzah menjadi
disukûn, yakni dibaca . وجزاءْ
117 asy-Syûrâ 51 42
 
ى (Yâ’) pada ورائِ adalah
sebagai rumah huruf Hamzah,
artinya ى (Yâ’) tersebut
dianggap seperti tidak ada –
maka dari itu ketika Wasal –
Hamzah tidak dibaca panjang,
sebab sesudahnya tidak ada
Huruf Mad. Dengan demikian
bila Waqaf padanya huruf
Hamzah menjadi disukûn,
yakni dibaca و رَ اء
118 az-Zukhruf 18 43
   
و (Wâw) pada ينش ؤا adalah
sebagai rumah huruf
Hamzah, artinya Wâw
tersebut dianggap seperti
tidak ada – maka dari itu
ketika Wasal – Hamzah tidak
dibaca panjang, sebab
sesudahnya tidak ada Huruf
Mad. Dengan demikian bila
Waqaf padanya huruf
Hamzah menjadi disukûn,
yakni dibaca . ينشأْ
119 az-Zukhruf 39 43   Huruf ذ (Dzâl sukûn) lafaz إِذْ
diIdghâmkan ke dalam ظ
(Zâ’) sesudahnya, artinya
seperti ظ (Zâ’) yang di-
Tasydîd, yakni dibaca الْإِدغَام
الْكَام ُ ل - sebab mempunyai
hukum Idghâm Mutajânisein.
120 al-Jâtsiyah 9 45
 
Ketika lafaz شيًا di-Wasalkan
dengan lafaz اتخذَها . Huruf
Pertama yang mati diberi
harakat Kasrah demi untuk
menghindari terjadinya peristiwa
 الْتقَاءُ الساكنين
(bertemunya 2 huruf matiyakni
Tanwîn/ ن mati yang
tidak ada rasm bertemu ت
mati) di lain kata; sedangkan
Hamzah Wasal dan
harakatnya (Kasrah) dibuang
– sebab sebelumnya berupa
huruf hidup Sebagian Mushaf
tercetak dengan ada tanda
baca " Nûn Kecil " di bawah
Hamzah Wasal lafaz .اتخذَها
121 al-Ahqâf 4 46
   
Apabila Waqaf pada ,
dan Ibtidâ’ (memulai bacaan )
dari , maka akan dibaca
ايتو نِي - yakni Hamzah Wasal
diberi harakat Kasrah dan Hamzah
Sukûn sesudahnya di-
Ibdâlkan ( diganti ) dengan
ي (Yâ’). Namun ketika lafaz
فى السموت di-Wasalkan
dengan  ائْتونِي , maka Hamzah
Wasal dan harakatnya (Kasrah)
di buang - sebab sebelumnya
berupa huruf hidup; sedangkan
Hamzah sesudah Hamzah Wasal
disukûn.
122 Muhammad 4 47
  
ا ( Alif ) sesudah Wâw di sini
sebagai Huruf Ziadah, yakni
bukan sebagai Huruf Mad -
maka dari itu tidak ada
bacaan panjang di sana.
Sebagian Mushaf tercetak
dengan ada tanda baca
Bulat Bundar ( ( صفْر مستدير
di atas Alif. Dengan demikian
bila Waqaf padanya akan
dibaca  ليبُلو
123 Muhammad 31 47
 
ا ( Alif ) pada lafaz 
adalah sebagai Huruf Ziadah,
yakni bukan sebagai Huruf
Mad - maka dari itu tidak ada
bacaan panjang di sana.
Sebagaian Mus haf tercetak
dengan ada tanda baca
Bulat Bundar ( ( صفْر مستدير
di atas Alif. Dengan demikian
bila Waqaf padanya akan
dibaca  ونبُلو
124 al-Fath 10 علَيه اللهَ 48 Hâ’ Damîr pada lafaz علَيِه
adalah bukan berharakat
Kasrah sebagaimana biasanya,
akan tetapi berharakat
Dammah.
125 al-Hujarât 11 49
    
Ketika lafaz  بِِئْس di-Wasalkan
dengan lafaz الاس  م . Huruf
Pertama yang mati diberi
harakat Kasrah, demi untuk
menghindari terjadinya peristiwa
 الْتقَاءُ الساكنين bertemunya
2 huruf mati- yaitu ل mati
bertemu س yang juga mati)
di lain kata; sedangkan
Hamzah Wasal pada الْ dan
اس  م dibuang – sebab sebelum
masing - masing Hamzah Wasal
berupa huruf hidup; maka
bacaannya menjadi .بِئْس لس  م
126 at-Tûr 37 52
 

Lafaz اُْل  مصيطرونَ mempunyai 2
wajah bacaan, yaitu :
1) memakai ص , yakni .اُْل  مصيطرون
2) memakai س , yakni اُْل  مسيطرونَ
127 an-Najm 51 53 










Ketika me Wasalkan lafaz 
-  pada lafaz  tidak
dibaca panjang (Mad), sebab
Alif disini adalah sebagai Zâidah
– bukan Huruf Mad (ket: di
dalam Al-Qur'an biasanya di
atas Alif dibubuhkan tanda baca
Bulat Bundar ( .( صفرْ مستدير
Maka bacaan lafaz tersebut
apabila Waqaf - menjadi  . وثَ  مود
128 al-Hasyr 17 59
 
, yakni bukan dibaca
خالدين – artinya huruf Dâl ( د) di
Fathah dan Nûn ( ن) diKasrah.
129
Al-Mumtahanah
4 60
 
و (Wâw) pada برءَا  ؤا  adalah
sebagai rumah huruf Hamzah,
artinya Wâw tersebut dianggap
seperti tidak ada –maka dari itu
ketika Wasal – Hamzah tidak
dibaca panjang, sebab sesudahnya
tidak ada Huruf Mad.
Dengan demikian bila Waqaf,
huruf Hamzah tersebut haruslah
disukûn, yakni dibaca برءَا ءْ
130 al-Ma‘ârij 11 70
 

Mîm ( م) pada lafaz  يومئذ
berharakat Kasrah, bukan
berharakat Fathah.
131 ad-Dahr/ al-
Insân
4 76
  
Ketika me-Wasalkan lafaz
 pada lafaz  tidak
dibaca panjang (Mad), sebab Alif
disini adalah sebagai Zaidah –
bukan Huruf Mad (ket: di dalam
Al-Qur'an biasanya di atas Alif
dibubuhkan tanda baca Bulat
Bundar ( صفْر مستدير ). Maka
bacaan lafaz tersebut apabila
Waqaf- menjadi 43 سلسِلْ .
43 Pada lafaz  ketika Waqaf sebetulnya masih mempunyai 1 (satu) wajah bacaan yaitu
Itsbât Alif
132 ad-Dahr/ al-
Insân
15-
16
76
     
- Ketika me-Wasalkan lafaz
قَوارِيرا ayat 15 dengan lafaz
sesudahnya, maka را lafaz قَوارِيرا
tidak dipanjangkan sama
sekali, yakni dibaca  قَوارِير ; akan
tetapi bila Waqaf, ada Huruf
Mad Alif yang dibaca dengan 2
harakat, yakni dibaca .قَوارِيرا
Sebagian Mus haf tercetak
dengan ada tanda baca
Bulat Lonjong ( (صفْر مستطي ٌ ل
di atas Alifnya را
- Ketika me-Wasalkan lafaz
قَوارِيرا di ayat 16, maka را tidak
dibaca panjang (Mad), sebab
Alif di sini adalah sebagai
Zaidah – bukan Huruf Mad.
Namun bila Waqaf dibaca
قَوارِير -yakni huruf Râ‘ disukun
(ket: di dalam Al-Qur'an
biasanya di atas Alifnya را
dibubuhkan tanda baca Bulat
Bundar ( .( صفْر مستدير
133 al-Mursalât 20 77
 
ق (Qâf sukûn) di-Idghâmkan ke
dalam ك (Kâf) sesudahnya dengan
total, yakni dibaca .اْلإدغَام الْكَام ُ ل
Namun diperbolehkan juga dengan
bacaan اْلإدغَام الناق  ص , yakni Sifat
Isti‘lâ’ ق (Qâf sukûn) masih tetap
ada – sedang Qalqalahnya yang
hilang .
134 an-Naba’ 21 30
مرصادا
ر) Râ’ sukûn) dibaca Tafkhîm.
'Illatnya walaupun sebelum Râ’
sukûn berupa huruf berharakat
Kasrah Asliyyah yang terletak
dalam satu kata – namun sesudah
Râ’ sukûn berupa Huruf Isti‘lâ’ yang
terletak dalam satu kata .
135 al-Ghâsyiyah 22 30  Lafaz بِ  مصيطر hanya mempunyai
satu wajah bacaan, yaitu
memakai ص , yakni . بِ  مصيطرٍ
Sedangkan wajah bacaan yang
memakai بِ  مسيطرٍ) س ) adalah
bukan menurut Tarîq asy-
Syâtibiyyah.
136 al-Fajr 4 30 و
الَّي
لِ إِذَا ي
س
رِ
Ketika Waqaf ada lafaz إِذَا
ر - يسرِ (Râ’ sukûn)
diperbolehkan dibaca dengan 2
wajah, yaitu Tafkhîm dan
Tarqîq44, jangan sampai س (Sîn)
sukûn sebelumnya terbaca " se".
44 Râ’ Sukûn yang mempunyai 2 wajah , yaitu Tafkhîm dan Tarqîq , selain tempat ini –
dapat dilihat pada Bab Tafkhîm dan Tarqîq sebelumnya ( hal. 66 ).
137 al-Fajr 14 89
لَبِالْمرصاد
ر (Râ’ sukûn) dibaca Tafkhîm.
'Illatnya walaupun sebelum Râ’
sukûn berupa huruf berharakat
Kasrah Asliyyah yang terletak
dalam satu kata – namun
sesudah Râ’ sukûn berupa Huruf
Isti‘lâ’ yang terletak dalam satu
kata.
138 al-Fajr 23 89  ا ( Alif ) sesudah ج adalah Ziadah;
sebagian Mushaf tercetak
dengan ada tanda baca Bulat
Bundar atau صفْر مستدير di atas
Alif. Berarti bacaanya seperti tidak
ada Alif baik Wasal maupun
Waqaf, yakni وجِيءَ
139 al-Fajr 28 89
  
ر (Râ’ sukûn) pada lafaz  ارجِعي
dibaca Tafkhîm. 'Illatnya
sebelum Râ’ sukûn berupa
Hamzah Wasal, di samping juga
berupa huruf berharakat Kasrah
yang tidak asli (‘Âridah) .
140 al-Ikhlâs 1-2 112
      
Apabila lafaz أَح د di-
Wasalkan dengan اَللّه , Huruf
Pertama yang mati diberi
harakat Kasrah demi untuk
menghindari terjadinya peristiwa
 الْتقَاءُ الساكنين
bertemunya 2 huruf matiyakni
Tanwîn/ ن mati yang
tidak ada rasm bertemu ل
mati) di lain kata. Sedangkan
Hamzah Wasal dan
harakatnya (Fathah) lafaz اَللّه
dibuang, sebab sebelumnya
berupa hidup.
CONTOH PERBEDAAN PENULISAN AL-QURAN TERBITAN INDONESIA DAN
MADINAH AN NABAWIYYAH MUSHAF AL- ……………………………..

XI. MATARANTAI SANAD RIWAYAT HAFS MILIK PENULIS
Adapun mata rantai sanad penulis hingga Rasulullah SAW untuk bacaan Riwâyat Hafs dari
Imâm ‘Âsim adalah sebagaimana berikut:
1. Rasulullah Muhammad SAW
2. ‘Utsmân bin ‘Affân - ‘Alî bin Abî Tâlib - ‘Abdullâh ibn Mas‘ûd - dan Ubay bin Ka‘ab
3. Abû ‘Abdurahmân ‘Abdullâh ibn Hubaib ibn Rubai‘ah as-Sulamiy al-Kûfiy
4. ‘Âsim bin Abû Najjûd al-Kûfiy
5. Abû ‘Umar Hafs bin Sulaimân ibn al-Mughîrah al-Asadiy al-Kûfiy
6. Abû Muhammad ‘Ubaid as-Sibâh ibn Abî Syuraih al-Kûfiy al-Baghdâdiy
7. Abul ‘Abbâs Ahmad ibn Sahl al-Fairuzaniy al- Asynâniy
8. Abul Hasan Tâhir ibn Ghalbûn
9. Abû ‘Amr ‘Utsmân ibn Sa‘îd ad-Dâniy
10. Abû Daud Sulaimân ibn Najâh al-Andalûsiy
11. Abul Hasan ‘Alî bin Muhammad bin Hudzail
12. Abû Muhammad al-Qâsim ibn Firrûh asy-Syâtibiy ar- Ru‘ainiy al-Andalusiy
13. Abul Hasan ‘Alî ibn Syujâ‘ ibn Salîm al-Hasyimiy al-Misriy
14. Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ahmad bin ‘Abdul Khâliq al-Misriy asy-Syâfi‘iy
15. Abul Khair Muhammad ibn Muhammad ad-Dimasyqiy ( Ibn Jazâriy )
16. Syihâbuddîn Ahmad ibn Asad al-Umyutiy asy-Syâfi ‘iy
17. Abû Yahyâ Zakaria al-Ansâriy al-Misriy
18. Nâsiruddîn Muhammad ibn Sâlim ibn‘Alî at-Tablawiy
19. Al-‘Allâmah Syahhâdzah al-Yamaniy
20. Saifuddîn ibn ‘Atâillah al-Wafâiy al-Fadâliy
21. Sultân ibn Ahmad ibn Ismâ‘îl al-Mazzâhiy al-Misriy
22. ‘Alîî ibn Sulaimân ibn ‘Abdullâh al-Mansûriy
23. Ahmad Hijâziy
24. Mustafâ ibn ‘Abdurrahmân ibn Muhamamd al-Azmiriy
25. Ahmad ar-Râsyidiy
26. Ismâ‘îl Basytîn
27. ‘Abdul Karîm bin H.‘Umar al-Badriy
28. KH.M.Munawwir al-Krabya’iy
29. KH. Abdul Qadir al-Munawwir ( Putra KH. Munawwir)
30. KH. Ahmad Munawwir (Putra KH. Munawwir)
31. Ahmad Fathoni bin Muhajir
PENUTUP
Berkat ma‘unah dan bimbingan-Nya penulisan buku sederhana ini berhasil
diselesaikan. Hakekatnya, kehadiran buku ini belum layak untuk disebut sebagai
“buku petunjuk praktis”. Boleh jadi, karena keterbatasan wawasan dan keilmuan,
penulis memberanikan diri untuk menawarkan buku ini sebagai sebuah
metodologi yang berbasis pada teori & praktek di dalam pencapaian tartil
berkualitas di dalam membaca Al-Qur’an sesuai tuntunan ayat 4 surah al-
Muzzammil.
Sehebat apapun atau secanggih bagaimanapun, asal menyangkut hal ihwal
bacaan Al-Qur’an harus tetap mengacu pada azas talaqqiy dan musyafahah
kepada guru ahli, Kaidah demikian tidak dapat ditawar-tawar lagi merujuk pada
ayat 6 surah an Naml , dan ayat 18 surah al-Qiyâmah:
      
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) telah benar-benar bertalaqqiy Al-Qur’an
dari Dzat Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui”
   
”Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu”.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim. Mushaf Standar ‘alâ Riwâyah Hafs. Jakarta: Depag RI,
2000.
Al-Qur’an al-Karîm. Imâm ‘Âsim Riwâyah Hafs. Saudi Arabia: Mujamma‘ Mâlik
Fahd al-Madînah al-Munawwarah, 1984.
Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Depag RI, 2004
Ghûl-al , Muhammad bin Syahâdah. Bughyah ‘Ibâdir Rahmân li Tahqîqi
Tajwîdil-Qur’an, Cet. ke-5. Saudi Arabia, Dammâm: Dâr Ibn Qalam
lin Nasyr wat Tauzî‘, 1999.
Nasr, ‘Atiyyah Qâbil. Ghayatul Murîd fi ‘Ilmit Tajwîd. Jeddah: Idârâtul Buhûts
al-‘Ilmiyyah wal Iftâ’, 1995.
‘Utsmân, Husnî Syeikh. Haqqut Tilâwah, Cet. ke-9.Yordania: Maktabah al-
Mannâr, 1990.
Marsafî-al, ‘Abdul Fattâh as-Sayyid ‘Ajamiy. Hidâyatul Qâri’ ilâ Tajwîdi Kalâmil-
Bârî, Cet. ke-2.Saudi Arabia, Madinah al-Munawwarah: Muhammad bin ‘Iwad bin
Lâdin, 1982

Tidak ada komentar:

Posting Komentar